Selasa, 21 Desember 2010

Kisah Miaoshan (Guan Yin; Kwan Im)

oleh Hanna Fransisca

DI tenggara Bukit Xiangshan, hiduplah seorang raja bernama Miao Zhuangyan dan permaisurinya, Jingde Vimaladatta. Raja yang sudah berusia setengah abad itu cemas, karena ia belum juga memiliki putra mahkota. Permaisuri memberi saran pada suaminya agar berdoa di Gunung Suci Hua Shan yang berada di barat. Hua Shan dikenal sebagai tempat yang mampu mengabulkan permohonan para peziarah. Permaisuri merasa suaminya perlu memohon pengampunan atas darah yang banyak bertumpahan semasa ia mendirikan dinasti. Permaisuri berpendapat bahwa karena darah yang bertumpahan itulah, maka para Dewa belum juga menganugerahi mereka putra mahkota.
Raja menerima saran permaisuri. Ia segera memerintahkan perdana menterinya agar menunjuk lima puluh pandeta Buddha dan Tao untuk berdoa pada Dewa Hua Shan, memohon pengampunan atas dosa-dosa raja dan meminta agar raja segera diberi keturunan. Upacara suci digelar di kuil Gunung Hua Shan selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri turut berdoa dan memberi persembahan pada Dewa. Tetapi Dewa dari Hua Shan yang telah mengetahui banyaknya nyawa yang dikorbankan akibat tiga tahun peperangan yang dilakukan oleh raja demi untuk meraih tatahnya, tidak memenuhi permohonan raja dengan serta merta, meski raja telah melakukan upacara suci.
***
Kisah sebelumnya, ada seorang bijak bernama Shih Ch’in-ch’ang tinggal di gunung Chiu Ling yang terletak di India. Ia merupakan nenek moyang tiga generasi yang mengabdikan diri pada Buddha. Ketiga anaknya( Shih Wen, Shih Chin, dan si si bungsu Shih Shan) menjadi pandeta.
Suatu hari, seorang pemimpin perampok, Wang Che, bersama tiga puluh pengikutnya dikejar oleh prajurit kerajaan India, hingga mereka tersudut dan kelaparan. Wang Che membawa anak buahnya meminta makanan ke rumah Shih Wen. Saat mengetahui Wang Che dan gerombolannya adalah perampok, ketiga abang adik yang menjadi pandeta itu menolak memberi sedekah. Wang Che sangat gusar. Meski begitu ia mengajak pengikutnya segera pergi dan mengurungkan niat membunuh setelah tahu ketiga kakak beradik itu adalah pandeta pengikut Buddha.
Akhirnya, Wang Che menemukan sebuah rumah orang kaya dan mulai merampoknya. Karena mendapat perlawanan segit, Wang Che akhirnya gelap mata dan membunuh semua penghuni rumah tanpa peduli apakah itu wanita, anak-anak, maupun orangtua. Seusai merompok seisi rumah, Rombongan Wang Che membakar rumah itu hingga rata dengan tanah. Para Dewa mencatat kejadian ini dan menghukum keluarga Shih sebagai yang bersalah. (Memang keluarga Shih telah mengabdikan diri pada pekerjaan mulia selama tiga generasi, dan rombongan perampok itu memang jahat dan tak patut dikasihani, tapi karena keluarga Shih menolak memberi sedekah makananlah yang mengakibatkan para perampok merampok dan membunuh seluruh keluarga Tai). Para Dewa memutuskan menghukum tiga pandeta Buddha ini ke dalam penjara surga. Selamanya mereka tidak boleh melihat cahaya matahari.
***
Saat Miao Zhuangyan memohon agar dikaruniai seorang putera, Dewa dari Hua Shan segera menghadap raja para Dewa di surga, Dewa Yue Huang.
“Raja Miao Zhuangyan telah memberi persembahan pada hamba dan memohon agar diberi seorang putera untuk kelak menggantikan dirinya. Tetapi, hamba juga menyadari perang demi perang yang dilakukannya hingga menyebabkan kematian umat manusia dalam jumlah yang besar, oleh karenanya ia tidak punya hak untuk dikabulkan permintaannya. Oleh karena itu hamba menghadap dan meminta kebijakan untuk membalas jasa persembahannya”.
“Apa yang kau harapkan dariku untuk diberikan padanya?”
“Berilah pada raja itu titisan dari tidak bersaudara Shih. Ini sekaligus untuk memberi kesempatan pada tiga bersaudara itu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa mereka dengan kelahiran kembali. Dan tiga bersaudara ini akan menjelma sebagai tiga putri bukan putra. Ini sekaligus untuk menghukum perbuatan dosa raja Zhuangyan.”
Dewa Yue Huang setuju dan melepas tiga pandeta Buddha tawanannya. Mereka dipersiapkan untuk menitis ke rahim permaisuri.
***
Raja Zhuangyan sangat bahagia setelah tahu permohonannya dikabulkan dan istrinya hamil. Ia sudah tak sabar ingin menimang seorang anak. Suatu pagi permaisuri melahirkan puteri pertamanya, yang diberi nama Miaoyan. Raja berusaha menutupi kekecewaannya. Ia tidak putus asa dan berharap di kelahiran berikutnya ia akan mendapatkan seorang putera.
Dalam tempo yang singkat permaisuri hamil yang kedua. Raja pun berdoa setiap hari pada para Dewa agar anak yang dikandung istrinya adalah laki-laki. Tiba saat persalinan raja bahkan menunggu di depan pintu. Saat mendengar tangis bayinya, tak sabar ia bertanya pada bidan.
“Apakah laki-laki?”
“Selamat. Permaisuri melahirkan seorang putri, Yang Mulia.”
Mendengar jawaban bidan, tubuh raja Miao Zhuangyan lunglai seketika. Saat ditanya nama apa yang akan diberikan untuk putri keduanya, dengan tersungut ia menjawab: Miaoyin. Meski begitu raja tidak berputus asa. Ia bahkan lebih rajin berdoa dan bersedia mempersembahkan apa saja kepada para Dewa asal ia diberi seorang anak laki-laki. Hingga suatu hari ia diberitahu oleh istrinya bahwa istrinya mengandung lagi. Raja segera bertanya kepada seluruh abdi negara, apa yang bisa ia perbuat agar anak yang dikandung isterinya kini adalah seorang putera mahkota.
Sesuai pendapat para perdana menterinya, raja pun terus berdoa untuk kelahiran anak ketiganya. Ia menyuruh perdana menterinya agar memberi persembahan lagi kepada Dewa di Gunung Hua Shan. Ia juga mempersiapkan pesta untuk menyambut kelahiran sang putera mahkota. Ntah kenapa ia merasa yakin bahwa ia akan mendapatkan putera mahkota untuk kali ini. Tidak hanya itu ia bahkan bersumpah di hadapan para abdi kerajaan.
“Jika aku kembali memperoleh seorang puteri untuk kali ini, maka selanjutnya aku tidak akan mempunyai anak lagi.”
Tetapi apa hendak dikata, permaisuri untuk ketiga kalinya melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Miaoshan—kelak ia terkenal karena kesederhanaannya, berbudi luhur, dan tekun mendalami semua ajaran Buddha. Agaknya Dewa dari Gunung Hua Shan betul-betul menghukum raja Miao Zhuangyan. Raja sangat kecewa dan memanggil perdana menterinya.
“Usiaku sudah lima puluh tahun lebih dan aku belum juga memiliki seorang putera mahkota sebagai pengganti diriku kelak. Tak ada gunanya seluruh kemenangan yang kuraih jika pada akhirnya dinastiku akan berakhir sampai di sini”.
Perdana menteri berusaha menghibur.
“Langit telah menurunkan tiga puteri untuk Yang Mulia. Manusia tidak kuasa melawan keputusan para Dewa. Mari kita berharap jika kelak para puteri ini tumbuh dewasa akan dinikahkan dengan suami pilihan. Dengan begitu Yang Mulia bisa memilih salah satu dari suami mereka sebagai penerus tatah kerajaan.”
***
Saat Miaoshan berada di dalam kandungan, permaisuri bermimpi menelan rembulan. Dan pada malam kelahiran Miaoshan, harum semerbak tiba-tiba memenuhi seluruh ruang persalinan. Masyarakat di sekitar istana melihat cahaya keemasan memayungi istana, mereka sempat terkejut dan menduga telah terjadi kebakaran di istana. Beberapa penduduk menanyakan keanehan itu, dan mereka diberitahu bahwa permaisuri baru saja melahirkan puteri ketiganya. Masyarakat percaya bahwa seorang suci telah muncul di kerajaan.
Miaoshan meski dibesarkan di lingkungan istana, ia sangat berbeda dengan kedua kakaknya. Ia mengenakan pakaian sederhana tanpa perhiasan. Ia juga tidak menyentuh makanan daging, bahkan sering berpuasa. Ia tidak membuang waktunya dengan bersenang-senang dalam kemegahan sebagai seorang puteri. Ia juga tak pernah marah saat kedua kakaknya mengejek dirinya memakai pakaian yang hanya layak dipakai oleh para pelayan. Tentu saja raja memperhatikan semua yang terjadi di istana. Raja membicarakan kelakuan puteri bungsunya pada permaisuri.
“Puteri bungsu kita kelakuannya aneh sekali. Kau tentu tahu ia mengajari para pelayan untuk menjalani kehidupan religius, bahkan mengajak mereka menanggalkan perhiasan. Ini tidak bisa dibiarkan. Kerajaan akan kacau jika para pelayan mengikutinya.”
“Lalu apa yang bisa kita lakukan?”
“Suruh ia menghadapku dan aku meminta kau tidak membelanya.”
Miaoshan menghadap. Meski usianya relatif muda tapi wajahnya selalu bersinar layaknya orang bijaksana. Raja mengerutkan dahi saat mengamati puteri bungsunya yang datang menghadap dengan pakaian yang sama seperti pakaian para pelayan. Raja berusaha menahan diri. Permaisuri mempersilahkan Miaoshan duduk di hadapan mereka.
“Miaoshan, engkau kini telah dewasa. Sebetulnya engkau juga berhak membuat keputusan untuk hidupmu sendiri. Tapi selama di kerajaanku, engkau harus menuruti perintahku.”
“Tentu, Ayahanda.”
“Kudengar kau mengajari para pelayan istana untuk hidup seperti kehidupan para biksuni. Ayah sebagai pemimpin kerajaan tidak senang akan hal itu. Mereka adalah para pelayanku dan akulah yang berkuasa atas mereka.” Miaoshan tetap tenang dan wajahnya tidak tampak berubah.
“Aku dan ibumu akan mencarikan suami untukmu. Mulai saat ini kau harus mematuhi semua tradisi kerajaan. Dan aku tidak ingin kau menentang keputusanku ini.”
“Ayahanda, ananda telah mendapat pencerahan. Ananda ingin menyelaraskan hidup dalam harmoni. Setiap manusia mempunyai sungai nafsu dan sering tanpa sadar tenggelam di dalamnya. Ananda tidak ingin hidup ananda hanya untuk kepuasan duniawi dan akhirnya jatuh dalam penderitaan abadi. Ayahanda atas petujuk Buddha, ananda telah berikrar untuk menjadi biksuni. Ananda tidak ingin hanya karena untuk menyenangkan hati Ayahanda dan Ibunda, ananda tidak bisa melaksanakan tugas untuk membebaskan semua mahluk dari penderitaan mereka. Ayahanda jika Ayahanda memerintahkan ananda untuk menikah, ananda memohon pengampunan karena tidak dapat mematuhinya. Ananda memohon, kini ijinkanlah ananda mohon diri karena ada pekerjaan yang harus ananda kerjakan.”
Miaoshan mundur dari hadapan orangtuanya. Raja menatap permaisuri dengan memendam geram.
“Puteri kita tidak boleh menjadi biksuni. Pastikan ia tidak melakukan hal bodoh itu!”
***
Malam harinya permaisuri berkunjung ke kamar Miaoshan dan berusaha membujuk puterinya dengan lemah lembut agar mau mengubah pikirannya.
“Mengapa engkau tidak ingin menikah? Lihatlah kebahagiaan kedua kakakmu yang telah menikah dengan pangeran tampan dan punya anak-anak yang lucu.”
Miaoshan tersenyum. “Ibunda, ananda akan mematuhi perintah Ibunda jika Ibunda masih bersikeras untuk menikahkan ananda, asal Ibunda bisa menghalangi tiga ketidakberuntungan itu datang”.
“Apa yang engkau maksud dengan tiga ketidakberuntungan itu, Anakku?” Permaisuri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan puterinya.
“Tiga ketidakberuntungan itu adalah, kesatu, wajah laki-laki muda akan setampan bulan tapi ketika usia datang mereka akan beruban, wajah keriput, dan segala gerak tubuh mereka menjadi lemah, tidak seperti saat mereka muda. Kedua, otot laki-laki bisa kuat dan sehat, bahkan ia dapat berjalan seperti terbang di udara. Tapi ketika penyakit datang padanya, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur tanpa kenikmatan apapun. Yang ketiga, seorang laki-laki mungkin bisa saja memilih seseorang yang paling dicintainya, tapi akan tiba saat ketidakabadian itu datang, pada saat itu tiba, bahkan kerabat terdekat seperti Ayahanda pun tak akan mampu menggantikan tempatnya. Jika aku bisa mendapat suami yang mampu menolak tiga ketidakberuntungan ini, aku akan menikah dengannya. Sebaliknya jika tak seorang pun yang mampu, maka ijinkanlah ananda berikrar untuk tidak menikah selamanya.”
Permaisuri tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya memandang wajah puterinya dengan senyum bangga. Ia sama sekali tidak kecewa dengan pilihan hidup anaknya. Tapi ia merasa sangat sedih, membayangkan raja yang pasti murka.
Apa yang dikwatirkan permaisuri benar-benar terjadi. Raja menghukum puterinya tanpa memperbolehkan seorang pun memberinya makanan, minuman, atau menemaninya. Miaoshan ditempatkan di kandang kuda. Hari demi hari berlalu, tapi tekad sang puteri sedikit pun tidak goyah.
Permaisuri tidak dapat menahan cemas atas nasib puterinya. Diam-diam ia mengutus pelayannya agar membawakan makanan dan minuman untuk puterinya. Miaoshan menolak apa yang dibawa oleh pelayan untuknya. Dalam masa hukuman justru tekadnya untuk mengabdikan diri pada Buddha semakin kuat.
Raja yang mendapat laporan perkembangan hukuman yang sedang dijalani puterinya semakin murka.
“Baiklah. Kalau ia memang tidak takut pada kematian, ia akan segera mendapatkannya.”
“Tapi suamiku, apakah tidak tergesa-gesa? Bagaimana kalau kita meminta kedua kakak Miaoshan yang membujuknya.”
Dengan berat hati raja menerima saran permaisuri. Permaisuri bernafas lega karena untuk sementara waktu puterinya terlepas dari golok algojo.
***
Miaoyan dan Miaoyin datang ke kandang kuda bersama suami mereka yang tampan dan gagah. Mereka tampak bahagia dan mengundang iri setiap mata yang memandang. Raja selalu bangga dengan kedua puterinya ini, hingga lupa ada satu lagi puterinya yang lain, yang ia tempatkan di kandang kuda.
“Senang melihat Kakak berdua dalam keadaan sehat”, Miaoshan menyambut kehadiran kakaknya dengan senyum. Wajahnya tidak tampak sedang susah.
“Tentu saja Miaoshan,” Miaoyan meneruskan pembicaraannya, “Kami selalu dilindungi dan dibahagiakan oleh suami kami. Sungguh sayang, kami harus melihatmu dalam keadaan seperti sekarang ini.”
“Kenapa engkau tersenyum, Miaoshan?”, sahut Miaoyin, “Jika engkau sayang pada orangtua kita, kembalilah dan memohon ampun pada mereka. Buang jauh-jauh niatmu untuk menjadi biksuni.”
“Kalian mendambakan kehormatan dan kemuliaan sebagaimana kalian terikat dalam cinta pernikahan. Kalian menikmati kesenangan pada masa kini tanpa menyadari sebab dari penderitaan adalah kesenangan. Kalian bergantung pada orangtua dan suami kalian. Semua hal yang kalian sebut kebahagiaan adalah ketergantungan,” Miaoshan menjawab dengan tenang, “Saudariku ingatlah, setiap dari kalian akan mengalami satu kehidupan dan satu kematian. Coba periksa kembali diri kalian dan jangan lagi membujukku, sebab keputusanku tidak akan berubah. Biarlah Ayahanda yang memutuskan aku harus hidup atau mati.”
Miaoyan dan Miaoyin menggelengkan kepala. Bagaimanapun mereka tidak memahami jalan pikiran adik mereka yang bertolak belakang dengan kedudukan mereka sebagai puteri kerajaan. Miaoyan dan Miaoyin segera melapor pada raja bahwa adik mereka masih bersikeras ingin menjadi biksuni. Raja semakin murka. Ia gerah jika harus terus menerus bersikap lunak pada puteri bungsunya. Tapi ia juga tidak ingin membuat permaisuri yang dicintainya bersedih hati dengan membunuh puteri bungsunya sendiri.
***
Pada masa itu hiduplah seorang biksuni yang bernama Huizhen. Raja memanggil Huizhen menghadap.
“Aku ingin kau melaksanakan perintahku!”
“Dengan senang hati hamba akan menjalankan titah Baginda.”
“Puteri bungsu kami, Miaoshan, bersikukuh ingin menjadi biksuni. Aku akan membiarkannya tinggal bersama kalian di vihara selama tujuh hari. Tapi selama ia di sana aku ingin kalian membujuknya agar kembali ke istana. Jika kalian tidak berhasil atau sebaliknya malah membujuk ia untuk tetap menentangku, maka akan kupenjarakan seluruh biksuni yang ada di kerajaan ini.”
Biksuni Huizhen terkejut mendengar perintah raja. Ia mendongakkan kepala sesaat dari tempat ia bersujud. “Tapi, apa kesalahan kami, Yang Mulia? Mohon dipertimbangkan kembali keputusan Baginda ini.”
“Untuk itulah aku memanggilmu dan mencari cara bagaimana supaya puteriku itu bisa mematuhi tradisi kerajaan, bukannya menjadi biksuni. Adalah tanggung jawab kalian untuk mengubah keputusannya. Atau jangan-jangan kalianlah yang telah meracuni pikirannya hingga ia menentangku!?”
“Ampun, Baginda. Kami tidak pernah melakukan perbuatan jahat seperti itu.”
***
Miaoshan tinggal di asrama para biksuni bersama lima ratus biksuni lainnya yang menyambut kehadiran dirinya dengan hangat dan ramah .  Tiba di vihara Miaoshan segera bersujud dan berdoa, mengucap syukur pada Buddha yang telah melunakkan hati ayahnya hingga ia kini memperoleh tempat tinggal yang lebih baik dari kandang kuda. Miaoshan sangat cepat menyesuaikan diri dengan lingkungn vihara. Ia bekerja dan belajar bersama para biksuni. Meski ia diberi tempat istimewa karena ia seorang puteri raja, ia tetap bersikap rendah hati.
“Miaoshan, engkau tumbuh dan besar di kerajaan. Mengapa engkau mencari kesunyian untuk dirimu? Bukankah jauh lebih baik engkau hidup di istana daripada bermeditasi di vihara?”
“Aku pada mulanya berniat menyelamatkan semua mahluk. Namun setelah melihat tingkat pengetahuan kalian seperti ini aku kecewa. Jika seorang biksuni saja bisa berbicara seperti ini, maka berapa banyak lagi orang awam yang akan mencelaku? Mungkin ada alasan ayahku tidak suka pada kalian dan melarangku menjadi seorang biksuni.”
“Kalian tahu apa arti kepala bundar dan berjubah sederhana? Tujuan seorang biksuni adalah menjauhkan diri dari kebesaran sebuah nama dan kemegahan. Berusaha melepaskan diri dari perasaan dan kemelakatan, serta melenyapkan ketergantungan. Guru Buddha dengan sangat jelas memberi aturan bagi mereka yang telah meninggalkan keluarga harus meletakkan tangan di atas kepala mereka dan meninggalkan semua perhiasan. Mereka harus memakai jubah yang tidak berwarna-warni dan mencari penghidupan dengan membawa mangkuk dana. Lantas mengapa kalian masih membicarakan kemegahan dan kemewahan? Kalian secara terbuka telah melanggar sila-sila murni. Menerima dana dari umat dengan cara tidak semestinya dan kalian menghabiskan waktu dengan sia-sia. Penampilan kalian memang biksuni, tapi hati kalian tidak.”
Para biksuni terdiam. Huizhen akhirnya berterus terang pada Miaoshan dengan menunjukkan surat perintah raja.
“Maafkanlah kelemahan kami, Miaoshan. Sebenarnya kami berada dalam tekanan raja. Kami memohon padamu, selamatkanlah para biksuni. Patuhi perintah Ayahandamu.”
Miaoshan menatap tajam mata sang biksuni.
“Kalian tahu, pangeran Mahasattva menjatuhkan diri dari tebing untuk memberi makan harimau yang telah membuatnya mencapai tingkat tanpa kelahiran. Raja Sivi memotong dagingnya sendiri untuk seekor merpati hingga ia mencapai penerangan di pantai Nirwana. Karena kalian yang juga telah memilih meninggalkan keluarga, seharusnya memandang tubuh ilusi ini sebagai ketidakabadian. Tubuh adalah wadah samsara. Setiap pikiran haruslah mencari pembebasan. Kenapa kalian masih takut pada kematian dan begitu mencintai kehidupan duniawi?”
Para biksuni terdiam mendengar apa yang dipaparkan Miaoshan dengan tegas laiknya seorang guru mengajari muridnya. Huizhen mengucap syukur bahwa Miaoshan yang telah mencapai pencerahan. Meski begitu beberapa biksuni lain masih merasa kwatir dengan keselamatan mereka, dan mereka mulai merencanakan sesuatu.
***
Dalam diskusi rahasia tanpa Miaoshan.
“Sungguh sombong kalau ia memaksakan setiap orang harus seperti dirinya. Ia boleh saja telah mencapai pencerahan, tapi yang lain? Apa ia tidak tahu bahwa tingkat pengetahuan setiap biksuni itu berbeda-beda?”
“Selain itu ia dilahirkan di istana. Pasti terbiasa hidup enak. Ia mana bisa tahu penderitaan hidup di luar. Ia berpikir menjadi biksuni itu pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Kita harus memberinya tugas seberat mungkin sampai ia menyesali apa yang telah ia katakan.”
Rencana itu disepakati. Sejak saat itu Miaoshan diberi pekerjaan kasar dan berat, dengan harapan keinginannya untuk menjadi biksuni segera patah. Apalagi waktu seminggu hampir habis, yang berarti jika Miaoshan masih bersikeras menjadi biksuni maka tamatlah riwayat para biksuni. Miaoshan melakukan pekerjaan yang telah diberikan padanya dengan senang hati. Ia memasak dan membersihkan dapur setiap hari. Ia hanya diberi seorang teman untuk membantunya bekerja.
“Tidak ada sayuran di kebun kita. Kau yang harus mencukupi kebutuhan sayur pada waktu yang telah ditentukan,” Kata seorang biksuni yang membantu Miaoshan itu.
Miaoshan segera ke ladang dan melihat memang hanya ada sedikit sayuran di sana. Ia berpikir keras bagaimana cara menyediakan sayuran yang cukup untuk dimakan semua biksuni pada esok harinya. Pada saat ia berpikir keras itulah, seekor naga tiba-tiba membantunya dengan kekuatan gaib. Pagi harinya, ladang telah dipenuhi sayuran bahkan lebih untuk beberapa hari berikutnya. Dan ketika Miaoshan harus mengambil air dari mata air sungai yang jauh, keajaiban kembali terjadi. Sebuah mata air tiba-tiba muncul di samping dapur.
Huizhen yang diam-diam mengetahui kekuatan gaib yang dimiliki Miaoshan sadar bahwa Miaoshan bukanlah manusia biasa. Tidak ada gunanya menghalangi niat puteri itu. Maka tepat pada hari ke tujuh ia menghadap raja dan menceritakan apa yang telah terjadi. Sang raja semakin dikuasai amarah langsung menemui permaisuri.
“Miaoshan ternyata mempraktekkan ilmu sihir hitam di tempat para biksuni. Sungguh keterlaluan! Ia harus dihukum atas perbuatannya!”
Miaoshan dipanggil kembali menghadap istana. Keputusan raja untuk memenggal kepala puteri bungsunya sudah tidak dapat diganggu gugat, meski permaisuri terus meratap memohon pengampunan bagi puterinya. Miaoshan tidak tampak tegang meski maut telah berada di depan matanya. Di hadapan para rakyat dan para pejabat, Miaoshan dengan tenang memejamkan mata saat algojo menarik pedang dari sarungnya.
Ketika pedang akan menyetuh leher Miaoshan, Dewa Gunung dari Gunung Naga yang mengetahui bahwa Miaoshan adalah Bodhisatva yang akan menyelamatkan banyak mahluk, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyelamatkan Miaoshan. Langit menjadi gelap seketika. Halilintar menyambar-nyambar. Petir menggelegar. Angin menderu kencang. Saat itu Miaoshan tiba-tiba tidak lagi berada di tempatnya.
Raja yang tidak mengetahui bahwa yang baru saja terjadi adalah kekuatan Dewa, menjadi sangat murka. Ia merasa puterinya telah meremehkan pengadilannya. Maka ia memerintahkan prajuritnya untuk memenggal kepala seluruh biksuni dan membakar semua vihara. Permaisuri hanya mampu menangis tersedu-sedu menyaksikan kemurkaan raja.
“Jangan bersedih. Ia pasti anak iblis yang terlahir di keluarga kita. Ia justru harus dimusnakan karena telah membuat kekacauan di kerajaan kita!”
***
Sementara itu, Miaoshan yang telah dibawa ke kaki Gunung Naga, mendapati dirinya seorang diri. Ia mencoba melangkahkan kaki. Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang tak lain adalah jelmaan Dewa Gunung.
“Gadis baik hendak pergi ke mana?”
“Aku ingin menyepi di atas puncak gunung ini”
“Gunung ini tempat tinggal para binatang buas. Ini bukanlah tempat yang tepat untuk bermeditasi.”
”Apa nama gunung ini, Kek?”
“Gunung ini tempat tinggal para Naga maka disebut Gunung Naga”
“Lalu bagaimana dengan pegunungan di sebelah barat itu?”
“Itu juga tempat kediaman para Naga. Karena gunung ini kecil maka disebut Gunung Naga Kecil sementara yang besar itu disebut Gunung Naga Besar. Tapi ada bukit di antara pengunungan ini. Namanya Xiangshan. Bukit itu tempat yang suci dan bersih, dan sangat cocok bagimu untuk menyepi.”
“Terima kasih, Kek. Tapi siapakah Kakek sesungguhnya?”
“Pengikutmu ini bukanlah seorang manusia, namun seorang dewa di gunung ini. Aku sebagai pengikutmu kelak, berikrar akan melindungimu.”
Miaoshan mengucapkan terima kasih sekali lagi pada kakek tua. Ia kemudian meneruskan perjalanan menuju Xiangshan sesuai petunjuk yang telah diberikan Dewa Gunung padanya. Puncak bukit Xiangshan rata. Berumput lembut dan tidak ditemukan jejak manusia. Miaoshan membangun gubuk dari reranting dan semak ilalang. Ia membuat pakaian dari dedaunan, dan meminum air embun. Selama tiga tahun ia bertapa tanpa seorangpun mengetahuinya.
Sementara di istana, raja Miao Zhuangyan menderita penyakit kamala karena karma buruknya. Penyakit ini menimbulkan bekas buruk di seluruh tubuhnya. Tabib-tabib terbaik telah didatangkan. Berbagai sayembara diselenggarakan  bagi siapa saja yang mampu mengobati penyakit raja akan mendapat hadiah besar.  Tapi dari ke hari tak seorang pun mampu mengobati raja, bahkan penyakitnya semakin memburuk.
Suatu hari seorang biksu muncul di gerbang istana dan meminta menghadap raja. Para prajurit seketika bersiaga, kwatir biksu itu datang untuk membalas dendam.
“Kalian tak perlu kwatir. Katakanlah pada raja, aku tahu obat yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Jika kalian masih curiga padaku, ikatlah tanganku ini.”
Perkataan biksu itu berhasil menyakinkan para prajurit, dan mereka segera melapor. Tak lama kemudian para prajurit muncul kembali dan mempersilahkan biksu itu menghadap raja.
“Hamba hanya seorang biksu miskin. Kedatangan hamba ke sini karena hamba tahu obat yang dapat menyembuhkan Yang Mulia.” Ujar biksu pada raja.
“Obat apakah itu, Biksu? Jika obat itu bisa menyembuhkanku, kau akan kuberi hadiah yang sangat besar.”
“Obat itu hanya membutuhkan dua ramuan saja, yaitu berupa tangan dan mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah.”
Semua yang hadir di situ mencemooh sang biksu, dan raja merasa telah dipermainkan.
“Apa kau sengaja mengejekku, Biksu? Aku akan memerintahkan pengawal menyeretmu keluar dan menyobek mulutmu yang lancang itu! Jangan sembarangan bicara! Mana ada orang yang jika tangan dan bola matanya diambil akan diam saja dan tidak marah?”
“Memang benar, Yang Mulia. Orang seperti itu tidak ada di kerajaan ini. Ia berada di sebuah bukit bernama Xiangshan. Ia seorang pertapa. Pertapa inilah yang hamba maksud.”
Atas saran biksu, raja memerintahkan utusannya membawa dupa persembahan ke atas pegunungan Xiangshan. Saat tiba di atas bukit, utusan segera membakar dupa dan meminta ijin untuk berbicara dengan sang pretapa.
“Hamba kemari membawa titah raja Miao Zhuangyan, wahai Sang Pandita.”
Pertapa membuka matanya perlahan. Matanya teduh memandang orang asing yang datang ke tempatnya.
“Apa yang ingin kau sampaikan, Utusan? Engkau adalah manusia pertama yang kutemui di sini.”
“Baginda menderita penyakit kamala selama tiga tahun. Para tabib hebat dan semua ramuan obat di negeri ini tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Seorang biksu datang ke istana dan memberi resep obat yang memerlukan dua bahan utama, yaitu tangan dan mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah. Dengan penghormatan yang sangat dalam, kami memberanikan diri memohon pada Sang Pandita agar bersedia memberikan ke dua lengan dan sepasang mata untuk menyembuhkan raja.”
Sang utusan segera membungkuk dua kali. Sang Pandeta tercenung sesaat. Meski terkejut, ia tidak tampak marah.
“Penyakit rajamu disebabkan oleh karena ia tidak menghormati Triratna, yaitu: Buddha, Dharma, dan Sangha. Aku akan memberikan kedua lengan dan mataku sebagai obat baginya. Tapi raja harus mengarahkan pikirannya menuju pencerahan dan berikrar akan berlindung di bawah Triratna. Dengan cara seperti itu barulah ia dapat sembuh dari penyakit yang dideranya.”
Biksuni Miaoshan mencungkil kedua bola matanya dengan sebilah pisau dan meminta utusan itu memotong kedua lengannya. Saat itu juga Gunung Xiangshan berguncang hebat, dan dari langit terdengar suara menggelegar: “Salam sejahtera ia yang telah mampu menyelamatkan semua mahluk hidup. Salam sejahtera bagi ia yang mampu melakukan hal-hal yang tidak mungkin di dunia ini. Semoga diberkati semesta!”
Sang utusan sangat ketakutan. Ia gemetar. Tapi sang pertapa yang berlumuran darah menenangkannya dengan ringan.
“Jangan takut. Segera potong kedua lenganku ini dan bawa serta dengan dua bola mataku ini. Bawa pada raja. Ingatlah pesanku tadi.”
***
Utusan tiba di istana dan raja menerima sepasang lengan dan bola mata yang dibawanya. Raja merasa sangat malu pada biksu dan meminta biksu itu segera meramu bahan tersebut untuk diminumnya.
Tidak sampai sepuluh hari, sang raja benar-benar sembuh total dari penyakitnya. Ia bersama permaisuri, seluruh keluarga kerajaan, para menteri, dan para pelayan istana bergembira serta memberi hadiah pada  biksu.
“Tidak seorangpun yang dapat menyembuhkan penyakitku. Tapi engkau telah berhasil melakukannya, Guru”, kata sang raja.
“Semua keajaiban ini bukan karena kekuatan hamba. Yang Mulia harus ke pegunungan Xiangshan untuk berterima kasih pada pertapa yang telah mengorbankan lengan dan matanya.”
Sang raja menjadi malu karena harus diingatkan kembali. Keesokan harinya ia bersama permaisuri dan kedua puterinya menyiapkan kereta kuda menuju bukit Xiangshan. Arak-arakan panjang membawa persembahan hadiah mewah untuk sang pertapa.
“Kuhaturkan beribu-ribu terima kasih, Wahai Sang Pertapa yang Budiman. Aku tidak mungkin sembuh tanpa kebaikan hatimu. Engkau rela menderita demi kesembuhanku. Maka hari ini aku datang bersama kerabat terdekatku untuk mengucapkan terima kasih padamu.”
Semua yang hadir tertunduk sedih dan terharu saat memandang tubuh pertapa yang tidak memiliki lengan dan mata. Permaisuri memandang lekat-lekat wajah pertapa, ia merasa wajah pertapa itu mirip dengan wajah puteri bungsunya yang telah hilang. Entah kenapa, meski ia kurang yakin, ia terisak.
“Oh Ibunda! Janganlah kembalikan pikiranmu pada Miaoshan. Aku adalah dirinya. Saat Ayahanda menderita penyakit kamala, anakmulah yang telah memberikan kedua tangan dan bola matanya untuk membalas kasih sayang sang raja.”
Mendengar kata-kata itu, raja dan permaisuri beserta Miaoyan dan Miaoyin memeluk Miaoshan dengan tangis histeris. Para pelayan tak kuasa membendung air mata. Gunung Xiangshan kini dibanjiri air mata haru.
“Wahai Dewa di surga, karena perbuatan jahatkulah, anak perempuanku telah kehilangan kedua lengan dan matanya. Aku akan menjilat kedua mata anakku dengan lidahku, dan menyatukan kembali kedua lengannya. Aku memohon bantuanMu Dewa, agar menumbuhkan kembali kedua bola mata anakku dan ,mengutuhkan kembali lengannya.”
Raja menunjukkan keteguhan hatinya. Tapi sebelum mulutnya tiba di mata anaknya, Miaoshan tiba-tiba lenyap dari pelukkan mereka. Pada saat yang sama, bumi berguncang hebat. Cahaya emas memenuhi gunung. Tak lama kemudian tampaklah Sang Buddha yang tenang dan agung, dengan sinar memesona. Sang raja dan semua yang berada di puncak gunung itu segera berlutut di hadapan Bodhisatva.
“Mata duniawi kami gagal mengenali kebesaranMu. Karma buruk telah kami dapatkan. Kami menmohon perlindungan dari kesalahan kami di masa lampau, dan mulai saat ini kami akan berlindung pada Triratna. Kami akan membangun kembali vihara-vihara. Kami memohon kemurahan hatiMu agar kembali pada tubuh asalmu dan ijinkan kami memberi persembahan”.
Pertapa kembali ke wujud asalnya dengan serta merta, utuh dengan kedua lengan dan matanya. Ia duduk bersila dengan tenang dan meninggal saat itu juga. Raja dan permaisuri membakar dupa dengan terisak. Mereka bersumpah di hadapan Bodhisatva.
“Kami akan memberikan persembahan kayu wangi dan mengkremasi tubuh sucimu saat tiba di istana. Kami akan membangun sebuah stupa untukmu dan memberi persembahan.”
Raja memenuhi janjinya. Ia mendirikan sebuah vihara yang di dalamnya diletakkan tubuh sang Bodhisatva dan di luarnya dibangun stupa. Ia membangun kembali vihara-vihara dan sebuah pagoda berlantai tiga belas di Pengunungan Xiang Shan.
***
Miaoshan mendapat gelar Dewi Guan Yin dari Sang Buddha. Guan Yin di Indonesia lebih dikenal dengan ejaan Kwan Im. Ia juga dikenal sebagai Bodhisatva Avalokitesvara. Dewi yang mampu mengasah batu menjadi jarum. Dewi yang tidak mengenal putus asa. Dalam mitologi berbeda, ada lagi kisah Kwan Im yang lain, semisal Kwan Im Seribu Tangan, Kwan Im Penjaga Laut Selatan, Kwan Im Pemberi Berkah Anak, dll.  Konon ada tiga puluh delapan jelmaan Kwan Im. Dan sangat menyesal, untuk saat ini aku belum bisa menceritakannya satu persatu. Tentu kisah mitologi ini ada beberapa versi, bahkan ada yang difilmkan. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa seni visual dan seni sastra (mitologi ini masuk dalam sastra China Klasik) tentu memiliki perbedaan. Jadi harap dimaklumi saja, jika apa yang tercatat ini kurang memuaskan. Bagian-bagian yang didramatisir seperti kedua kakak Miaoshan yang jahat, ibunya yang menjadi gila, ayahnya yang menjadi buta, tidak dalam catatan ini. Apalagi kisah yang menceritakan ayah Kwan Im kemudian menjelma menjadi seekor sapi. Dongeng maupun mitologi selalu mempunyai beberapa versi. Tapi yang penting  dari itu semua, kita menghikmati pesan-pesan yang dibungkus di dalamnya.

Hanna Fransisca, sastrawan tinggal di Singkawang. Telah menerbitkan bungarampai puisi Konde Penyair Han (2010), selain itu cerita pendeknya terbit dalam antologi cerpen Kolecer & Hari Raya Hantu.Menurut pengakuan Hanna, jiwanya merasa terpanggil untuk menuliskan Kisah Miaoshan(Guan Yin; Kwan Im).

Sumber : www.journalbali.com


Minggu, 12 Desember 2010

KULTIVASI DAPAT MERUBAH TAKDIR

Yuan Liaofan adalah seorang penulis terkenal buku peribahasa Tiongkok asal Kabupaten Wujiang, Propinsi Jiangsu. Ayah Penyair era 1533 hingga 1606, atau selama Dinasti Ming ini meninggal ketika dia masih kecil.
Ketika Yuan masih muda, seorang Peramal secara tepat memprediksi takdirnya, namun ia mampu mengubah nasib di tahun-tahun terakhir masa hidupnya.
Sebagai remaja, ibunya memintanya untuk mendalami Konfusius, dengan harapan dia mampu mendapatkan pekerjaan yang layak, serta bisa membantu sesama.
Suatu hari, dia pergi ke Kuil Ciyun. Disana dia bertemu dengan seorang pria tua yang memiliki penampilan seperti dewa Tao.
Orang tua itu berkata kepadanya, "Anda cocok menjadi pejabat. Tahun depan, Anda akan mengikuti Ujian Negara dan berhasil masuk  Istana. Janganlah menyerah untuk Belajar."
Orang tua itu bermarga Kong asal Propinsi Yunnan. Yuan pun mengundang orang tua tersebut ke rumahnya.
Ibunya berkata, "Pria ini adalah seorang peramal ahli. Mengapa kita tidak memintanya untuk meramal untukmu? Kita akan melihat apakah prediksinya akurat atau tidak."
Akhirnya, peramal tua itu pun menceritakan kehidupan masa lalu Yuan dengan sangat teliti, bahkan sampai pengalaman kecilnya.
Dia kemudian meramal kehidupan Yuan, dimana dia akan lulus ujian tahunan dengan predikat Sarjana Lin, tahun itu juga. Sarjana Lin adalah Sarjana yang lulus pada ujian pertama, sehingga langsung mendapat subsidi atau beasiswa khusus dari pemerintah.
Peramal tua juga meramalkan, Yuan akan mendapat predikat sarjana Gong. Sarjana Gong adalah seorang sarjana kualifikasi baik dan akan dipilih untuk menghadiri Akademi Kerajaan, akademi tertinggi di Tiongkok kuno.
Setelah Yuan lulus dari Akademi Kerajaan, ia diramalkan akan menjadi walikota di beberapa propinsi.
Yuan diramalkan akan berhenti dari pekerjaannya setelah tiga setengah tahun dan kembali ke kota asalnya. Dia akan berjalan pada tengah malam pukul 01:00-03:00 pada tanggal 14 Agustus, ketika dia berusia 53 tahun. Satu hal yang menyedihkan dalam hidup Yuan, menurut ramalan peramal tua itu, bahwa Yuan tidak akan memiliki seorang putra.
Yuan Liaofan mencatat kata-kata Mr Kong dengan sangat rinci. Lalu ia kembali belajar Konfusius Klasik.
Dalam semua ujian berikutnya, peringkatnya selalu sama dengan yang diramalkan Mr Kong. Setelah ia menjadi  sarjana Lin, menurut ramalan Peramal tua Kong, ia tidak akan dipilih sebagai sarjana Gong sebelum menerima subsidi sebanyak 91 Dan dan Lima Dou (alat ukur tradisional Tingkok) beras dari Kerajaan. (Sepuluh Dou adalah sama dengan satu Dan).
Namun, Kepala Divisi Pendidikan, Tuan Tu, malah mengangkat Yuan menjadi sarjana Gong ketika ia baru menerima 71 Dan beras. Jadi, Yuan mulai menduga bahwa ramalan Peramal Tua Kong mungkin sudah tidak akurat setelah titik ini.
Akhirnya, Yuan percaya bahwa peringkat seseorang dan semua keberuntungan sudah ditentukan oleh Langit. Selain itu, waktu setiap keberuntungan dan promosi juga telah ditentukan. Jadi ia mengambil semuanya dengan hati ringan dan lapang, dan tidak lagi terlalu mengejar.
Yuan terpilih sebagai sarjana Gong, dia pun pergi ke Akademi Kerajaan di Nanjing untuk meningkatkan pengetahuannya. Sebelum ia pergi ke Akademi, ia pergi ke Gunung Qixia di pinggiran kota Nanjing untuk mengunjungi Pendeta Yun Gu, seorang pendeta Buddha yang berbudi tinggi.
Mereka bertemu dan berbincang-bincang di ruang meditasi Pendeta Yun Gu. Pendeta Yun Gu sangat terkejut dan bertanya, "Sejak Anda sering dating kemari, saya belum pernah melihat Anda berhasil membuang pikiran serakah.
Yuan Liaofan menjawab, "Seluruh hidup saya telah diramal secara akurat oleh Tuan Kong. Tidak mungkin saya bisa mengubahnya. Jika saya punya pikiran serakah, mencoba untuk mengejar sesuatu, itu akan berakhir sia-sia. Oleh karena itu, saya lebih suka kesederhanaan dan tidak memikirkan apa-apa. Itulah sebabnya saya tidak lagi memiliki kerakusan apapun dalam pikiran."
Pendeta Yun Gu tertawa. Dia berkata, "Saya pikir Anda adalah orang yang luar biasa. Tanpa diduga, Anda hanyalah seorang Sarjana Biasa.”
Yuan Liaofan bertanya kepadanya, "Mengapa demikian?"
Pendeta Yun Gu menjawab, "Hanya orang biasa yang akan merasa dibatasi oleh hidup dan ramalan. Seseorang yang baik tidak akan ada masalah dibatasi oleh nasib yang telah diatur. Dalam bab pertama Kitab Ching, mengatakan, ‘Sebuah keluarga yang terus mengumpulkan kebaikan dan kebajikan akan memiliki kekayaan lebih dari pengaturan sebelumnya’."
"Oleh karena itu, nasib seseorang bisa diubah. Saya bisa mengendalikan nasib sendiri dan menciptakan nasib sendiri. Jika saya melakukan kejahatan, saya akan mengurangi keberuntungan yang saya miliki pada awalnya, jika saya berbuat baik, saya akan mendapatkan keberuntungan. Dalam kitab Buddha, kita belajar bahwa orang bisa menjadi kaya jika ia ingin, seseorang dapat memiliki putra dan putri jika dia ingin, seseorang dapat hidup lama jika dia mau! "
Kata-kata itu memotivasi Yuan Liaofan, yang pernah terbenam dalam ilusi ramalan takdir selama bertahun-tahun. Dia mulai mengikuti kata-kata untuk mengubah hidupnya. Sejak itu, dia sangat berhati-hati dalam menjalani hidup. Bahkan di tempat-tempat di mana tidak ada orang lain di sekitarnya, dia akan melakukannya dengan baik agar tidak menyinggung langit dan bumi.
Ketika dia bertemu orang-orang yang tidak menyukainya dan memfitnahnya, dia akan menerimanya dengan tenang, dan tidak akan berdebat dengan orang lain.
Satu tahun setelah ia bertemu Pendeta Yun Gu, ia menghadiri ujian Kerajaan. Menurut prediksi Peramal Kong, ia akan mendapat peringkat ketiga dalam ujian ini. Namun, dia malah mendapat pertama.
Yuan Liaofan kemudian bersumpah untuk melakukan tiga ribu perbuatan baik. Lebih dari sepuluh tahun usaha, ia selesai melakukan tiga ribu perbuatan baik. Dia bahkan punya anak setelahnya.
Dia bertanya pada istrinya untuk mencatat perbuatan baik yang dia lakukan. Istrinya tidak tahu bagaimana menulis, jadi dia melingkari bulatan merah pada kalender, setiap kali Yuan melakukan perbuatan baik.
Misalnya, ketika Yuan memberikan makanan untuk orang miskin. Kadang-kadang, lebih dari 10 lingkaran merah dalam satu hari! Beberapa tahun kemudian, ia lulus ujian akhir Kekaisaran dan menjadi Jinshi, tingkat tertinggi untuk sarjana. Beliau diangkat menjadi Walikota di Kabupaten Baodi. Pada titik ini, ia ingin melakukan 10.000 perbuatan baik.
Pada Kabupaten Baodi ia menyiapkan sebuah buku, yang disebutnya "Menulis pada Menahan Hati ". Dia sangat ketat terhadap dirinya sendiri, dan mencoba untuk mendisiplinkan diri untuk tidak berbuat dan berpikiran jahat.
Setiap pagi ketika ia menangani tuntutan hukum sipil dalam ruang sidang, dia akan meminta pelayannya untuk mengantarkan buku kecil ini ke meja kantornya.
Setiap hari, ia juga akan merekam semua perbuatan baik dan perbuatan buruk yang telah dilakukannya pada hari itu dalam buku kecil ini.
Ketika senja tiba, ia menata meja di halaman belakang rumahnya, menganti pakaian resmi, dan membakar dupa untuk memberi salam hormat kepada para dewa-dewa di surga. Rutinitas itu dilakukannya setiap hari.
Suatu ketika, istrinya khawatir bahwa ia terlalu banyak mengurus tugas resmi dan ia tidak akan memiliki cukup waktu untuk melakukan 10.000 perbuatan baik.
Dia berkata, "Sekarang Anda telah bersumpah untuk melakukan 10.000 perbuatan baik, tetapi tidak banyak perbuatan baik yang bisa dilakukan di ruang sidang. Saya benar-benar tidak tahu apakah kita bisa menyelesaikan 10.000 perbuatan Baik!"
Malam berikutnya, Yuan bermimpi bertemu Dewa. Dia pun mengatakan kepada dewa bahwa dia mungkin tidak punya cukup waktu untuk melakukan 10.000 perbuatan baik dan menjelaskan alasannya.
Dewa menjawab, "Selama Anda menjabat Walikota, Anda mengurangi uang pajak dan pajak tanaman untuk warga sipil. Anda akan dapat mencapai tujuan Anda melakukan 10.000 perbuatan baik. "
Memang, Yuan berpikir bahwa pengenaan pajak bagi para petani di Kabupaten Baodi terlalu berat, dan dia menurunkan hampir 50%. Karena itu ia telah melakukan perbuatan baik untuk semua petani di daerah ini.
Oleh karena itu, Yuan terus melakukan perbuatan baik selama sisa hidupnya. Peramal Kong meramalkan bahwa ia akan meninggal pada usia 53 tahun, tapi dia tetap sehat sampai usia 69. Dia menulis tentang pengalamannya mengubah nasibnya dalam buku kecil ‘Empat Peringatan Perbuatan Hidup’, dan ia  menurunkan buku ini kepada putranya dan generasi berikutnya.
Cerita Yuan benar-benar membangkitkan inspirasi. Dalam kebudayaan tradisional Tiongkok, intisari cerita budipekerti adalah "kebaikan akan dibayar dengan kebaikan, dan Kejahatan akan dibayar dengan kejahatan". Pengalaman pribadi Yuan Liaofan, tentang merubah suratan takdir adalah sebuah contoh nyata kultivasi atau mengolah dan meningkatkan watak dan kualitas moral.
Yuan Liaofan mengikuti saran Pendeta Yun Gu, menghormati dan menyembah Langit dan Tuhan. Berbuat baik dan memperbaiki kesalahan, serta membayar hutang karma. Hal ini membuktikan bahwa dia adalah seorang Kultivator.
Mengutip dari buku Zhuan Falun karya Master Li Hongzhi, yang membimbing para pengikutnya berkultivasi dikatakan bahwa masih ada satu cara yang dapat mengubah seluruh kehidupan manusia, dan ini adalah cara satu-satunya. Yakni mulai sekarang orang ini menempuh sebuah jalan Xiulian (berkultivasi dan melatih diri).
Jadi, dengan memperbaiki kualitas moral maka takdir jalan hidup seseorang akan diatur kembali oleh Tuhan.(kebijakajernih.net/snd/waa) 
Sumber : erabaru.net

Sabtu, 11 Desember 2010

Memahami Dualitas dan Non-dualitas


Oleh : John Kabatt Zinn

Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa ketika kita mampu melampaui dualitas, kita akan jelas melihat bahwa ada sesuatu yang nyata. Tapi yang tidak nyata itu tidak bertentangan dengan yang nyata. Apa yang tidak nyata hanya tidak nyata. Ini adalah di luar realitas, terpisah dari realitas. Tapi itu bukan dan tidak dapat bertentangan dengan realitas. Sesuatu yang nyata tidak dapat memiliki lawannya.

Tidak ada yang bisa mengancam yang nyata.
Dengan demikian, langkah pertama pada jalan spiritual adalah untuk melampaui dualitas. Dan itulah yang dinyatakan Yesus begitu indah ketika ia berkata, “Carilah dahulu kerajaan Tuhan  dan KebenaranNya.” Carilah pertama kali “kebenaran” tertinggi Tuhan. Ini juga yang dinyatakan oleh sang Buddha dalam definisi delapan jalur kebenaran Buddha. Banyak umat Buddha telah salah menafsirkan delapan jalur kebenaran ini dan percaya bahwa hal itu dapat didefinisikan dalam istilah manusia. Seperti, apa itu mata pencaharian yang benar. Apa itu tindakan yang benar. Apa itu berpikir yang benar. Apa itu hubungan yang benar dan sebagainya.
Tapi kita lihat, definisi sejati dari delapan jalur kebenaran adalah bahwa kita harus berusaha mencapai “kebenaran” dari Tuhan yang berada melampaui dualitas. Tapi bagaimana Anda bisa meraih kebenaran tersebut, kebenaran yang lebih tinggi? Kita dapat melakukannya hanya ketika kita menyadari kebenaran mulia bahwa segala sesuatu yang muncul dari dualitas akan menyebabkan penderitaan, dan bahwa penyebab penderitaan kita adalah keinginan kita yang salah yang didasarkan pada kemelekatan kita terhadap hal-hal duniawi, baik itu kesenangan duniawi atau keinginan untuk menjadi benar dalam arti manusia dan merasa bahwa kita lebih baik dari mereka yang kita definisikan sebagai salah karena mereka berbeda dari Anda atau memiliki pandangan yang berlawanan dari kita.
Ada banyak sekali orang di planet ini yang menghabiskan seluruh hidup mereka dengan berusaha untuk menunjukkan keunggulan dan merasa lebih baik daripada yang lain. Mereka selalu melihat diri mereka selalu dalam persaingan dengan orang lain dan ini terjadi mulai dari orang yang biasa hingga yang berkedudukan tinggi, seperti kata pepatah, hidup adalah perjuangan, untuk memiliki rumah yang lebih baik, mobil yang lebih besar dan barang-barang material yang lebih banyak. Dan itu juga terjadi hingga pada elite kekuasaan yang ingin memiliki kekuasaan lebih dari orang-orang lain dalam kelompok-kelompok elite kekuasaan lain dimana mereka saling membandingkan diri mereka sendiri.
Kita dapat menghabiskan seumur hidup kita melakukan pencarian yang tidak masuk akal untuk mencari sesuatu dianggap benar oleh kebanyakan orang. Atau kita dapat mencapai realitas dari kebenaran Tuhan. Namun untuk meraih kebenaran Tuhan kita harus bersedia untuk secara sadar dan sengaja memilih untuk melepaskan kemelekatan kita untuk hal-hal di dunia materi. Selama kita melekat pada kebenaran orang lain, untuk menjadi populer atau tidak ingin dilihat sebagai orang tidak berguna atau diejek untuk keyakinan, gaya hidup atau tindakan kita, selama kita melekat pada apa pun, pada setiap penampilan kita di dunia ini, untuk berdiri di antara manusia lain, maka kita tidak akan bebas untuk memahami kebenaran yang lebih tinggi dari Tuhan atau untuk mengekspresikan kebenaran itu.
Buddha telah mengajarkan pada kita 2.500 tahun yang lalu, bahwa ketidakmelekatan adalah kunci untuk ketenangan pikiran. Dan ajaran ini adalah benar. Ini adalah ajaran abadi. Ini adalah ajaran kekal. Namun seperti juga Yesus telah tunjukkan pada kita, tidak ada ajaran yang dinyatakan dalam kata-kata yang didasarkan pada ego manusia. Apa pun yang dinyatakan dalam kata-kata tersebut banyak didasarkan oleh pikiran dualistik dan ditafsirkan sesuai dengan ekstrim ini atau ekstrim itu atau bahkan konsep palsu Jalan Tengah sebagai sesuatu yang benar di antara dua ekstrem dualistik.
Bahkan konsep Jalan Tengah dapat disalahartikan. Karena sesungguhnya, Buddha tidak pernah menyuruh orang untuk datang ke titik tengah antara dua ekstrem dualistik. Buddha mengajarkan mereka untuk melampaui seluruh skala dualitas, kesadaran yang melampaui dualitas. Dan ini adalah esensi dari ajaran Buddha. Namun untuk mengatasi dualitas kita harus bersedia melepaskan keinginan, keyakinan, kemelekatan yang muncul dari dualitas. Dan karena itu kita harus datang ke titik di mana kita lebih mencintai kebenaran Tuhan daripada kebenaran mausia.
Dan ini pada akhirnya harus menjadi keputusan sadar yang kita buat. Sesungguhnya, tidak semua orang telah siap untuk membuat keputusan itu. Tapi yang pasti sudah siap atau segera siap adalah mereka-mereka yang telah menjadi spiritual. Dan jika kita merenungkan konsep-konsep ini, kita akan datang ke titik di mana kita akan merasakan secara spontan, keinginan mendadak untuk mengalami realitas yang lebih tinggi dari Tuhan yang tiba-tiba membuat kita mudah untuk melepaskan beberapa kemelekatan kita. Dan sekali kita menyadari betapa mudahnya untuk melepaskan satu kemelekatan, kita dapat membangun sebuah momentum untuk melepaskan kemelekatan secepat kita menemukannya.
Sumber : henkykuntarto.wordpress.com

Rabu, 08 Desember 2010

Zhuge Liang

Zhuge Liang adalah ahli strategi militer dari negara Han
pada zaman Tiga Negara (220-280 A.D.). Dia adalah ahli strategi yang paling
cerdik dan terkenal dalam sejarah Tiongkok. Dia acapkali dilukiskan sedang
memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung
bangau.

Ketika Zhuge Liang berumur 9 tahun, dia masih tidak dapat berbicara.
Keluarganya sangat miskin. Ayahnya menyuruh dia menggembalakan domba di
dekat sebuah bukit di sebuah gunung. Di atas gunung ada sebuah kuil Pendeta
Tao dimana tinggal seorang Pendeta Tao tua dengan kepala penuh dengan uban.
Setiap hari Pendeta Tao tersebut berjalan-jalan santai di luar kuil. Ketika
ia berjumpa Zhuge Liang, dia mencoba berkomunikasi dengan anak laki-laki
tersebut dengan menggunakan isyarat tangan. Zhuge Liang juga senang
"berkomunikasi" dengan Pendeta Tao tersebut dengan isyarat tangan. Pendeta
Tao itu menjadi sangat menyayangi Zhuge Liang yang pintar dan menawan itu.
Dia mulai mengobati masalah kebisuan anak laki-laki itu. Tidak lama kemudian
Zhuge Liang bisa berbicara!


Zhuge Liang sangat gembira ketika akhirnya dia bisa bicara. Dia pergi
mendaki menuju ke kuil Pendeta Tao tersebut untuk mengucapkan terima kasih.
Pendeta Tao tersebut memberitahukannya, "Ketika kau pulang ke rumah, katakan
pada orang tuamu bahwa saya mengangkatmu sebagai murid dan saya akan
mengajari kamu membaca. Saya juga akan mengajarimu seni astronomi, geografi
dan menerapkan teori Ying dan Yang di dalam strategi militer. Jika orang
tuamu setuju, kamu harus hadir di sekolah setiap hari dan kamu tidak boleh
membolos!"

Sejak saat itu, Zhuge Liang menjadi murid Pendeta Tao tua tersebut. Hujan
atau terang, Zhuge Liang akan mendaki gunung untuk menerima pelajarannya.
Dia adalah seorang anak yang sangat pintar dan rajin yang sangat serius
dalam pelajarannya. Dia juga mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Pendeta
Tao tersebut tidak pernah harus mengajari segala sesuatunya sampai dua kali.
Dengan sendirinya Pendeta Tao tersebut menjadi semakin menyayanginya.

Delapan tahun berlalu dengan cepatnya dan Zhuge Liang menjadi seorang
remaja.

Suatu hari ketika Zhuge Liang seperti biasanya turun gunung, dia melewati
sebuah biara yang telah ditinggalkan, terletak di tengah-tengah gunung.
Tiba-tiba datang hembusan angin yang sangat kuat, diikuti dengan badai
petir. Zhuge Liang tiada pilihan lain selain berlari masuk ke biara yang
telah ditinggalkan itu untuk menghindari badai. Di sana ada seorang wanita
muda yang belum pernah dijumpai keluar untuk bertemu dengannya. Dia memiliki
sepasang mata yang besar dan alis yang tipis. Dia begitu cantiknya
sampai-sampai Zhuge Liang hampir salah mengiranya adalah seorang dewi. Dia
segera tertarik dengan wanita muda tersebut.

Ketika badai berhenti, wanita cantik itu menemui dia di depan pintu dan
berkata padanya dengan tersenyum, "Karena sekarang kita sudah saling
berjumpa. Kamu bebas untuk mampir dan menikmati secangkir teh kapanpun kau
ingin beristirahat dalam perjalananmu turun atau naik ke gunung." Begitu
Zhuge Liang berjalan keluar dari biara itu, dia merasa curiga. "Mengapa saya
tidak mengetahui ada orang yang tinggal di biara ini sebelumnya?" pikirnya.

Sejak hari itu, Zhuge Liang mulai sering mengunjungi biara tersebut. Setiap
kali wanita cantik itu selalu menghiburnya dengan ramah tamah. Dia memasak
makanan yang enak untuknya dan selalu membujuknya untuk tinggal lebih lama.
Setelah makan malam mereka selalu berbincang-bincang dengan seru dan bermain
catur. Dibandingkan dengan kuil Pendeta Tao, biara tersebut bagaikan surga.

Selalu memikirkan wanita itu mengalihkan perhatiannya dari pendidikannya dan
dia mulai kehilangan semangat untuk belajar. Dia semakin lama semakin kurang
perhatiannya terhadap ajaran dari Pendeta Tao. Dia juga menjadi pelupa dan
mengalami kesulitan dalam mempelajari buku pelajaran baru.

Pendeta Tao tua itu menemukan masalahnya. Suatu hari dia memanggil Zhuge
Liang dan menarik napas panjang. "Lebih mudah menghancurkan sebuah pohon
daripada menanam sebuah pohon!" ujarnya. "Saya telah menyia-nyiakan banyak
tahun untuk kamu!"

Zhuge Liang menundukan kepalanya karena malu dan berkata, "Guru, saya tidak
akan mengecewakan anda lagi atau menyia-nyiakan ajaran anda!"

"Saya tidak mempercaimu," kata Pendeta Tao tua. "Saya tahu kamu adalah
seorang anak yang sangat cerdas, karena itu saya ingin mengobati penyakitmu
dan memberimu sebuah pendidikan yang layak. Delapan tahun terakhir ini kamu
telah sangat dalam pendidikanmu, jadi saya berpikir bahwa kerja keras untuk
mendidikmu adalah pantas. Tetapi sekarang kamu melalaikan pendidikanmu.
Bagaimanapun pandainya kamu, kamu tidak dapat kemana-mana jika kamu
terus-menerus seperti ini! Sekarang kamu berjanji padaku untuk tidak akan
pernah lagi mengecewakan aku. Bagaimana saya dapat mempercayai kata-katamu?"


Pendeta Tao tua melanjutkan, "Semua ada penyebabnya." Kemudian dia menunjuk
ke sebatang pohon yang terbungkus oleh banyak tumbuhan merambat yang tebal
di halaman. "Lihat pohon itu," katanya. "Mengapa kamu pikir pohon itu
setengah hidup dan sedang berjuang dalam setiap pertumbuhannya?"

"Tanaman merambat yang melilit pohon menghalangi pertumbuhannya!" jawab
Zhuge Liang.

"Tepat sekali! Pohon ini mengalami kesulitan untuk tumbuh di gunung cadas
dengan tanah yang sedikit ini. Tetapi dia tetap tumbuh karena dia teguh
untuk mengembangkan akar dan cabangnya. Dia tidak takut udara panas maupun
dingin. Tetapi, ketika tanaman merambat membungkusnya, dia tidak dapat
tumbuh lebih tinggi lagi. Lucukan bagaimana tanaman merambat yang lembut itu
bisa mengalahkan pohon yang tinggi dan tegap itu!"

Zhuge Liang sangat pintar, jadi dia segera memahami apa yang dimaksud oleh
Gurunya. Dia bertanya, "Guru, anda mengetahui kunjungan saya ke biara itu"

Pendeta Tao tua berkata, "Hidup di dekat air, seseorang akan mempelajari
sifat alami ikan. Hidup di gunung, seseorang akan mempelajari bahasa burung.
Saya telah mengamati kamu dan tingkah lakumu. Bagaimana mungkin hubungan
asmaramu luput dari perhatianku?"

Dia berhenti sebentar sebelum memberitahukan muridnya dengan tatapan yang
serius, "Biar kuberitahu kamu kebenaran mengenai wanita cantik itu. Dia
bukan manusia. Dia adalah burung bangau dewa di surga. Dia telah diusir
keluar dari istana langit sebagai hukuman karena telah mencuri dan memakan
buah persik Ratu Langit. Dia datang ke dunia manusia dan menjelma menjadi
seorang wanita cantik. Dia adalah bangau dewa yang telah rusak moralnya yang
tahunya hanya mencari kesenangan. Kamu telah terpedaya oleh penampilannya,
kamu telah menyia-nyiakan tidak hanya waktumu saja. Jika kamu membiarkan
dirimu kehilangan kemauanmu, kamu akan kehilangan segalanya! Selain itu,
jika kamu tidak menuruti kehendaknya, akhirnya dia akan menyakitimu.

Sampai waktu itu Zhuge Liang baru menyadari keseriusan dari petualangannya.
Dengan cemas dia meminta gurunya cara mengatasinya.

Pendeta Tao tua berkata, "Bangau dewa tersebut mempunyai kebiasaan pada
tengah malam menjelma kembali ke bentuk semulanya dan terbang ke sungai
langit untuk mandi. Ketika dia menjauhi biara, kamu harus masuk ke kamarnya
dan bakar jubahnya. Dia mencuri jubah tersebut dari Istana Langit. Tanpa
jubah, dia tidak akan dapat menjelma menjadi seorang wanita cantik.

Zhuge Liang berjanji untuk mengikuti instruksi Gurunya. Sebelum ia pergi,
Gurunya memberikan sebuah tongkat dengan ukiran kepala naga di ujung
atasnya. Dia memberitahu Zhuge Liang, "Ketika bangau dewa tersebut
mengetahui kebakaran di dalam biara, dia akan segera terbang kembali dari
sungai langit. Dia akan menyadari bahwa kamu telah membakar jubahnya dan
akan menyerang kamu. Ketika itu terjadi, kau harus memukulnya dengan tongkat
ini! Sangatlah penting untuk kau ingat dan mengerjakan apa yang telah aku
beritahukan kepadamu!"


Tengah malam, diam-diam Zhuge Liang pergi ke biara tersebut. Dia membuka
kamar wanita itu dan menemukan jubahnya di atas ranjang. Dia segera membakar
jubah tersebut.

Ketika bangau dewa sedang mandi di sungai langit, tiba-tiba dia merasa
jantungnya sakit. Dia melihat ke arah biara dan melihat api. Dia segera
terbang ke bawah dan melihat Zhuge Liang telah membakar jubahnya. Dia
menghampiri Zhuge Liang dan berusaha menyerang matanya dengan paruh. Zhuge
Liang mempunyai reflek yang cepat. Dia mengangkat tongkatnya dan memukul
jatuh bangau dewa. Kemudian dia menangkap ekor bangau itu. Bangau dewa itu
memberontak dan berhasil meloloskan diri, tetapi dia kehilangan bulu ekornya
pada Zhuge Liang.

Dia menjadi seekor bangau dengan ekor botak. Dia menjadi malu dengan
penampilannya, sehingga dia berhenti mandi di sungai langit. Dia juga tidak
berani memasuki Istana Langit untuk mencuri jubah lagi, jadi dia tidak punya
pilihan lain selain tetap tinggal di dunia manusia selamanya dan hidup
diantara bangau biasa.

Untuk mengingatkan dirinya sendiri akan pelajaran ini, Zhuge Liang menyimpan
bulu ekor bangau itu.

Sejak hari itu, Zhuge Liang menjadi semakin rajin. Dia akan menghafal semua
yang diajarkan oleh Gurunya dan semua buku pelajaran. Dia benar-benar
menyerap apa yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkannya dengan mudah.
Setahun telah lewat. Tepat pada hari ia membakar jubah bangau dewa setahun
yang lalu, pendeta Tao tua memberitahukannya dengan sebuah senyuman lebar,
"Muridku, kau telah belajar dibawah pengawasanku selama sembilan tahun. Saya
telah mengajarimu semua yang harus kau pelajari dan kamu telah mempelajari
semua buku pelajaran di sini. Ada sebuah pepatah, "Guru membawamu ke pintu
masuk, dan terserah padamu untuk berlatih kultivasi.' Sekarang kamu berusia
18 tahun. Sudah saatnya kamu meninggalkan rumah dan mengembangkan karirmu!"

Ketika Zhuge Liang mendengar bahwa ia telah menyelesaikan pendidikannya, dia
memohon gurunya untuk mengajarinya lagi. "Guru! Semakin banyak saya belajar,
saya merasa semakin rendah hati. Saya merasa masih banyak yang harus saya
pelajari dari anda!"

"Pendidikan sejati berasal dari kehidupan nyata. Kau harus belajar
menerapkan pengetahuanmu didalam kehidupan dan merancang pemecahan yang
berbeda untuk situasi yang berbeda! Sebagi contoh, kau telah belajar sebuah
pelajaran yang penting dari kunjunganmu dengan bangau dewa bahwa seseorang
tidak seharusnya tergoda oleh nafsu atau perasaan. Ini adalah pelajaran
berguna yang diperoleh dari pengalaman nyata. Dengan hal itu didalam
pikiran, kamu tidak akan dibuat binggung oleh permukaan maya dari dunia ini.

Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu. Kamu harus melihat segalanya dalam
bentuk sejatinya. Ini adalah nasihat perpisahan saya kepadamu! Saya akan
meninggalkanmu hari ini."

"Guru, kemana Anda akan pergi?" dengan heran Zhuge Liang bertanya. "dimana
saya dapat menemuimu atau mengunjungimu di kemudian hari?"

"Saya akan keliling dunia dan tidak akan menetap lagi."

Tiba-tiba Zhuge Liang merasakan air mata yang hangat menetes dari matanya.
Dia berkata, "Guru! Sebelum anda pergi, anda harus memberikan aku kesempatan
untuk bersujud kepada anda dan berterima kasih kepada anda atas pendidikan
yang anda berikan padaku!"

Kemudia Zhuge Liang bersujud kepada Gurunya. Ketika dia berdiri, Pendeta Tao

tersebut telah menghilang.


Pendeta Tao itu meninggalkannya sebuah jubah dengan gambar patkwa. Zhuge
Liang sering memikirkan Gurunya; karena itu, ia sering memakai jubah dengan
gambar patkwa sebab memberikannya perasaan bahwa Gurunya berada di
sampingnya.

Zhuge Liang tidak pernah lupa nasihat Gurunya, terutama nasihat
perpisahannya. Dia membuat kipas dari bulu ekor bangau dewa untuk
mengingatkan dirinya sendiri untuk sangat berhati-hati seumur hidupnya. Ini
adalah cerita dibalik kipas bulu terkenal yang dibawa oleh Zhuge Liang.