tag:blogger.com,1999:blog-31785827530815853142024-03-08T10:47:34.323-08:00Welcome to My Blog'sbutongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-3178582753081585314.post-82959069053941284842010-12-21T04:54:00.000-08:002010-12-21T04:56:24.269-08:00Kisah Miaoshan (Guan Yin; Kwan Im)<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">oleh <b><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Hanna Fransisca</span></b></span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">DI tenggara Bukit Xiangshan, hiduplah seorang raja bernama Miao Zhuangyan dan permaisurinya, Jingde Vimaladatta. Raja yang sudah berusia setengah abad itu cemas, karena ia belum juga memiliki putra mahkota. Permaisuri memberi saran pada suaminya agar berdoa di Gunung Suci Hua Shan yang berada di barat. Hua Shan dikenal sebagai tempat yang mampu mengabulkan permohonan para peziarah. Permaisuri merasa suaminya perlu memohon pengampunan atas darah yang banyak bertumpahan semasa ia mendirikan dinasti. Permaisuri berpendapat bahwa karena darah yang bertumpahan itulah, maka para Dewa belum juga menganugerahi mereka putra mahkota.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Raja menerima saran permaisuri. Ia segera memerintahkan perdana menterinya agar menunjuk lima puluh pandeta Buddha dan Tao untuk berdoa pada Dewa Hua Shan, memohon pengampunan atas dosa-dosa raja dan meminta agar raja segera diberi keturunan. Upacara suci digelar di kuil Gunung Hua Shan selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri turut berdoa dan memberi persembahan pada Dewa. Tetapi Dewa dari Hua Shan yang telah mengetahui banyaknya nyawa yang dikorbankan akibat tiga tahun peperangan yang dilakukan oleh raja demi untuk meraih tatahnya, tidak memenuhi permohonan raja dengan serta merta, meski raja telah melakukan upacara suci.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Kisah sebelumnya, ada seorang bijak bernama Shih Ch’in-ch’ang tinggal di gunung Chiu Ling yang terletak di India. Ia merupakan nenek moyang tiga generasi yang mengabdikan diri pada Buddha. Ketiga anaknya( Shih Wen, Shih Chin, dan si si bungsu Shih Shan) menjadi pandeta.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Suatu hari, seorang pemimpin perampok, Wang Che, bersama tiga puluh pengikutnya dikejar oleh prajurit kerajaan India, hingga mereka tersudut dan kelaparan. Wang Che membawa anak buahnya meminta makanan ke rumah Shih Wen. Saat mengetahui Wang Che dan gerombolannya adalah perampok, ketiga abang adik yang menjadi pandeta itu menolak memberi sedekah. Wang Che sangat gusar. Meski begitu ia mengajak pengikutnya segera pergi dan mengurungkan niat membunuh setelah tahu ketiga kakak beradik itu adalah pandeta pengikut Buddha.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Akhirnya, Wang Che menemukan sebuah rumah orang kaya dan mulai merampoknya. Karena mendapat perlawanan segit, Wang Che akhirnya gelap mata dan membunuh semua penghuni rumah tanpa peduli apakah itu wanita, anak-anak, maupun orangtua. Seusai merompok seisi rumah, Rombongan Wang Che membakar rumah itu hingga rata dengan tanah. Para Dewa mencatat kejadian ini dan menghukum keluarga Shih sebagai yang bersalah. (Memang keluarga Shih telah mengabdikan diri pada pekerjaan mulia selama tiga generasi, dan rombongan perampok itu memang jahat dan tak patut dikasihani, tapi karena keluarga Shih menolak memberi sedekah makananlah yang mengakibatkan para perampok merampok dan membunuh seluruh keluarga Tai). Para Dewa memutuskan menghukum tiga pandeta Buddha ini ke dalam penjara surga. Selamanya mereka tidak boleh melihat cahaya matahari.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Saat Miao Zhuangyan memohon agar dikaruniai seorang putera, Dewa dari Hua Shan segera menghadap raja para Dewa di surga, Dewa Yue Huang.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Raja Miao Zhuangyan telah memberi persembahan pada hamba dan memohon agar diberi seorang putera untuk kelak menggantikan dirinya. Tetapi, hamba juga menyadari perang demi perang yang dilakukannya hingga menyebabkan kematian umat manusia dalam jumlah yang besar, oleh karenanya ia tidak punya hak untuk dikabulkan permintaannya. Oleh karena itu hamba menghadap dan meminta kebijakan untuk membalas jasa persembahannya”.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Apa yang kau harapkan dariku untuk diberikan padanya?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Berilah pada raja itu titisan dari tidak bersaudara Shih. Ini sekaligus untuk memberi kesempatan pada tiga bersaudara itu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa mereka dengan kelahiran kembali. Dan tiga bersaudara ini akan menjelma sebagai tiga putri bukan putra. Ini sekaligus untuk menghukum perbuatan dosa raja Zhuangyan.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Dewa Yue Huang setuju dan melepas tiga pandeta Buddha tawanannya. Mereka dipersiapkan untuk menitis ke rahim permaisuri.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Raja Zhuangyan sangat bahagia setelah tahu permohonannya dikabulkan dan istrinya hamil. Ia sudah tak sabar ingin menimang seorang anak. Suatu pagi permaisuri melahirkan puteri pertamanya, yang diberi nama Miaoyan. Raja berusaha menutupi kekecewaannya. Ia tidak putus asa dan berharap di kelahiran berikutnya ia akan mendapatkan seorang putera.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Dalam tempo yang singkat permaisuri hamil yang kedua. Raja pun berdoa setiap hari pada para Dewa agar anak yang dikandung istrinya adalah laki-laki. Tiba saat persalinan raja bahkan menunggu di depan pintu. Saat mendengar tangis bayinya, tak sabar ia bertanya pada bidan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Apakah laki-laki?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Selamat. Permaisuri melahirkan seorang putri, Yang Mulia.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Mendengar jawaban bidan, tubuh raja Miao Zhuangyan lunglai seketika. Saat ditanya nama apa yang akan diberikan untuk putri keduanya, dengan tersungut ia menjawab: Miaoyin. Meski begitu raja tidak berputus asa. Ia bahkan lebih rajin berdoa dan bersedia mempersembahkan apa saja kepada para Dewa asal ia diberi seorang anak laki-laki. Hingga suatu hari ia diberitahu oleh istrinya bahwa istrinya mengandung lagi. Raja segera bertanya kepada seluruh abdi negara, apa yang bisa ia perbuat agar anak yang dikandung isterinya kini adalah seorang putera mahkota.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Sesuai pendapat para perdana menterinya, raja pun terus berdoa untuk kelahiran anak ketiganya. Ia menyuruh perdana menterinya agar memberi persembahan lagi kepada Dewa di Gunung Hua Shan. Ia juga mempersiapkan pesta untuk menyambut kelahiran sang putera mahkota. Ntah kenapa ia merasa yakin bahwa ia akan mendapatkan putera mahkota untuk kali ini. Tidak hanya itu ia bahkan bersumpah di hadapan para abdi kerajaan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Jika aku kembali memperoleh seorang puteri untuk kali ini, maka selanjutnya aku tidak akan mempunyai anak lagi.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Tetapi apa hendak dikata, permaisuri untuk ketiga kalinya melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Miaoshan—kelak ia terkenal karena kesederhanaannya, berbudi luhur, dan tekun mendalami semua ajaran Buddha. Agaknya Dewa dari Gunung Hua Shan betul-betul menghukum raja Miao Zhuangyan. Raja sangat kecewa dan memanggil perdana menterinya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Usiaku sudah lima puluh tahun lebih dan aku belum juga memiliki seorang putera mahkota sebagai pengganti diriku kelak. Tak ada gunanya seluruh kemenangan yang kuraih jika pada akhirnya dinastiku akan berakhir sampai di sini”.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Perdana menteri berusaha menghibur.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Langit telah menurunkan tiga puteri untuk Yang Mulia. Manusia tidak kuasa melawan keputusan para Dewa. Mari kita berharap jika kelak para puteri ini tumbuh dewasa akan dinikahkan dengan suami pilihan. Dengan begitu Yang Mulia bisa memilih salah satu dari suami mereka sebagai penerus tatah kerajaan.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Saat Miaoshan berada di dalam kandungan, permaisuri bermimpi menelan rembulan. Dan pada malam kelahiran Miaoshan, harum semerbak tiba-tiba memenuhi seluruh ruang persalinan. Masyarakat di sekitar istana melihat cahaya keemasan memayungi istana, mereka sempat terkejut dan menduga telah terjadi kebakaran di istana. Beberapa penduduk menanyakan keanehan itu, dan mereka diberitahu bahwa permaisuri baru saja melahirkan puteri ketiganya. Masyarakat percaya bahwa seorang suci telah muncul di kerajaan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan meski dibesarkan di lingkungan istana, ia sangat berbeda dengan kedua kakaknya. Ia mengenakan pakaian sederhana tanpa perhiasan. Ia juga tidak menyentuh makanan daging, bahkan sering berpuasa. Ia tidak membuang waktunya dengan bersenang-senang dalam kemegahan sebagai seorang puteri. Ia juga tak pernah marah saat kedua kakaknya mengejek dirinya memakai pakaian yang hanya layak dipakai oleh para pelayan. Tentu saja raja memperhatikan semua yang terjadi di istana. Raja membicarakan kelakuan puteri bungsunya pada permaisuri.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Puteri bungsu kita kelakuannya aneh sekali. Kau tentu tahu ia mengajari para pelayan untuk menjalani kehidupan religius, bahkan mengajak mereka menanggalkan perhiasan. Ini tidak bisa dibiarkan. Kerajaan akan kacau jika para pelayan mengikutinya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Lalu apa yang bisa kita lakukan?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Suruh ia menghadapku dan aku meminta kau tidak membelanya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan menghadap. Meski usianya relatif muda tapi wajahnya selalu bersinar layaknya orang bijaksana. Raja mengerutkan dahi saat mengamati puteri bungsunya yang datang menghadap dengan pakaian yang sama seperti pakaian para pelayan. Raja berusaha menahan diri. Permaisuri mempersilahkan Miaoshan duduk di hadapan mereka.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Miaoshan, engkau kini telah dewasa. Sebetulnya engkau juga berhak membuat keputusan untuk hidupmu sendiri. Tapi selama di kerajaanku, engkau harus menuruti perintahku.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Tentu, Ayahanda.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kudengar kau mengajari para pelayan istana untuk hidup seperti kehidupan para biksuni. Ayah sebagai pemimpin kerajaan tidak senang akan hal itu. Mereka adalah para pelayanku dan akulah yang berkuasa atas mereka.” Miaoshan tetap tenang dan wajahnya tidak tampak berubah.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Aku dan ibumu akan mencarikan suami untukmu. Mulai saat ini kau harus mematuhi semua tradisi kerajaan. Dan aku tidak ingin kau menentang keputusanku ini.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Ayahanda, ananda telah mendapat pencerahan. Ananda ingin menyelaraskan hidup dalam harmoni. Setiap manusia mempunyai sungai nafsu dan sering tanpa sadar tenggelam di dalamnya. Ananda tidak ingin hidup ananda hanya untuk kepuasan duniawi dan akhirnya jatuh dalam penderitaan abadi. Ayahanda atas petujuk Buddha, ananda telah berikrar untuk menjadi biksuni. Ananda tidak ingin hanya karena untuk menyenangkan hati Ayahanda dan Ibunda, ananda tidak bisa melaksanakan tugas untuk membebaskan semua mahluk dari penderitaan mereka. Ayahanda jika Ayahanda memerintahkan ananda untuk menikah, ananda memohon pengampunan karena tidak dapat mematuhinya. Ananda memohon, kini ijinkanlah ananda mohon diri karena ada pekerjaan yang harus ananda kerjakan.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan mundur dari hadapan orangtuanya. Raja menatap permaisuri dengan memendam geram.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Puteri kita tidak boleh menjadi biksuni. Pastikan ia tidak melakukan hal bodoh itu!”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Malam harinya permaisuri berkunjung ke kamar Miaoshan dan berusaha membujuk puterinya dengan lemah lembut agar mau mengubah pikirannya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Mengapa engkau tidak ingin menikah? Lihatlah kebahagiaan kedua kakakmu yang telah menikah dengan pangeran tampan dan punya anak-anak yang lucu.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan tersenyum. “Ibunda, ananda akan mematuhi perintah Ibunda jika Ibunda masih bersikeras untuk menikahkan ananda, asal Ibunda bisa menghalangi tiga ketidakberuntungan itu datang”.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Apa yang engkau maksud dengan tiga ketidakberuntungan itu, Anakku?” Permaisuri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan puterinya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Tiga ketidakberuntungan itu adalah, kesatu, wajah laki-laki muda akan setampan bulan tapi ketika usia datang mereka akan beruban, wajah keriput, dan segala gerak tubuh mereka menjadi lemah, tidak seperti saat mereka muda. Kedua, otot laki-laki bisa kuat dan sehat, bahkan ia dapat berjalan seperti terbang di udara. Tapi ketika penyakit datang padanya, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur tanpa kenikmatan apapun. Yang ketiga, seorang laki-laki mungkin bisa saja memilih seseorang yang paling dicintainya, tapi akan tiba saat ketidakabadian itu datang, pada saat itu tiba, bahkan kerabat terdekat seperti Ayahanda pun tak akan mampu menggantikan tempatnya. Jika aku bisa mendapat suami yang mampu menolak tiga ketidakberuntungan ini, aku akan menikah dengannya. Sebaliknya jika tak seorang pun yang mampu, maka ijinkanlah ananda berikrar untuk tidak menikah selamanya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Permaisuri tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya memandang wajah puterinya dengan senyum bangga. Ia sama sekali tidak kecewa dengan pilihan hidup anaknya. Tapi ia merasa sangat sedih, membayangkan raja yang pasti murka.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Apa yang dikwatirkan permaisuri benar-benar terjadi. Raja menghukum puterinya tanpa memperbolehkan seorang pun memberinya makanan, minuman, atau menemaninya. Miaoshan ditempatkan di kandang kuda. Hari demi hari berlalu, tapi tekad sang puteri sedikit pun tidak goyah.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Permaisuri tidak dapat menahan cemas atas nasib puterinya. Diam-diam ia mengutus pelayannya agar membawakan makanan dan minuman untuk puterinya. Miaoshan menolak apa yang dibawa oleh pelayan untuknya. Dalam masa hukuman justru tekadnya untuk mengabdikan diri pada Buddha semakin kuat.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Raja yang mendapat laporan perkembangan hukuman yang sedang dijalani puterinya semakin murka.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Baiklah. Kalau ia memang tidak takut pada kematian, ia akan segera mendapatkannya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Tapi suamiku, apakah tidak tergesa-gesa? Bagaimana kalau kita meminta kedua kakak Miaoshan yang membujuknya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Dengan berat hati raja menerima saran permaisuri. Permaisuri bernafas lega karena untuk sementara waktu puterinya terlepas dari golok algojo.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoyan dan Miaoyin datang ke kandang kuda bersama suami mereka yang tampan dan gagah. Mereka tampak bahagia dan mengundang iri setiap mata yang memandang. Raja selalu bangga dengan kedua puterinya ini, hingga lupa ada satu lagi puterinya yang lain, yang ia tempatkan di kandang kuda.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Senang melihat Kakak berdua dalam keadaan sehat”, Miaoshan menyambut kehadiran kakaknya dengan senyum. Wajahnya tidak tampak sedang susah.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Tentu saja Miaoshan,” Miaoyan meneruskan pembicaraannya, “Kami selalu dilindungi dan dibahagiakan oleh suami kami. Sungguh sayang, kami harus melihatmu dalam keadaan seperti sekarang ini.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kenapa engkau tersenyum, Miaoshan?”, sahut Miaoyin, “Jika engkau sayang pada orangtua kita, kembalilah dan memohon ampun pada mereka. Buang jauh-jauh niatmu untuk menjadi biksuni.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kalian mendambakan kehormatan dan kemuliaan sebagaimana kalian terikat dalam cinta pernikahan. Kalian menikmati kesenangan pada masa kini tanpa menyadari sebab dari penderitaan adalah kesenangan. Kalian bergantung pada orangtua dan suami kalian. Semua hal yang kalian sebut kebahagiaan adalah ketergantungan,” Miaoshan menjawab dengan tenang, “Saudariku ingatlah, setiap dari kalian akan mengalami satu kehidupan dan satu kematian. Coba periksa kembali diri kalian dan jangan lagi membujukku, sebab keputusanku tidak akan berubah. Biarlah Ayahanda yang memutuskan aku harus hidup atau mati.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoyan dan Miaoyin menggelengkan kepala. Bagaimanapun mereka tidak memahami jalan pikiran adik mereka yang bertolak belakang dengan kedudukan mereka sebagai puteri kerajaan. Miaoyan dan Miaoyin segera melapor pada raja bahwa adik mereka masih bersikeras ingin menjadi biksuni. Raja semakin murka. Ia gerah jika harus terus menerus bersikap lunak pada puteri bungsunya. Tapi ia juga tidak ingin membuat permaisuri yang dicintainya bersedih hati dengan membunuh puteri bungsunya sendiri.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Pada masa itu hiduplah seorang biksuni yang bernama Huizhen. Raja memanggil Huizhen menghadap.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Aku ingin kau melaksanakan perintahku!”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Dengan senang hati hamba akan menjalankan titah Baginda.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Puteri bungsu kami, Miaoshan, bersikukuh ingin menjadi biksuni. Aku akan membiarkannya tinggal bersama kalian di vihara selama tujuh hari. Tapi selama ia di sana aku ingin kalian membujuknya agar kembali ke istana. Jika kalian tidak berhasil atau sebaliknya malah membujuk ia untuk tetap menentangku, maka akan kupenjarakan seluruh biksuni yang ada di kerajaan ini.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Biksuni Huizhen terkejut mendengar perintah raja. Ia mendongakkan kepala sesaat dari tempat ia bersujud. “Tapi, apa kesalahan kami, Yang Mulia? Mohon dipertimbangkan kembali keputusan Baginda ini.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Untuk itulah aku memanggilmu dan mencari cara bagaimana supaya puteriku itu bisa mematuhi tradisi kerajaan, bukannya menjadi biksuni. Adalah tanggung jawab kalian untuk mengubah keputusannya. Atau jangan-jangan kalianlah yang telah meracuni pikirannya hingga ia menentangku!?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Ampun, Baginda. Kami tidak pernah melakukan perbuatan jahat seperti itu.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan tinggal di asrama para biksuni bersama lima ratus biksuni lainnya yang menyambut kehadiran dirinya dengan hangat dan ramah . Tiba di vihara Miaoshan segera bersujud dan berdoa, mengucap syukur pada Buddha yang telah melunakkan hati ayahnya hingga ia kini memperoleh tempat tinggal yang lebih baik dari kandang kuda. Miaoshan sangat cepat menyesuaikan diri dengan lingkungn vihara. Ia bekerja dan belajar bersama para biksuni. Meski ia diberi tempat istimewa karena ia seorang puteri raja, ia tetap bersikap rendah hati.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Miaoshan, engkau tumbuh dan besar di kerajaan. Mengapa engkau mencari kesunyian untuk dirimu? Bukankah jauh lebih baik engkau hidup di istana daripada bermeditasi di vihara?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Aku pada mulanya berniat menyelamatkan semua mahluk. Namun setelah melihat tingkat pengetahuan kalian seperti ini aku kecewa. Jika seorang biksuni saja bisa berbicara seperti ini, maka berapa banyak lagi orang awam yang akan mencelaku? Mungkin ada alasan ayahku tidak suka pada kalian dan melarangku menjadi seorang biksuni.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kalian tahu apa arti kepala bundar dan berjubah sederhana? Tujuan seorang biksuni adalah menjauhkan diri dari kebesaran sebuah nama dan kemegahan. Berusaha melepaskan diri dari perasaan dan kemelakatan, serta melenyapkan ketergantungan. Guru Buddha dengan sangat jelas memberi aturan bagi mereka yang telah meninggalkan keluarga harus meletakkan tangan di atas kepala mereka dan meninggalkan semua perhiasan. Mereka harus memakai jubah yang tidak berwarna-warni dan mencari penghidupan dengan membawa mangkuk dana. Lantas mengapa kalian masih membicarakan kemegahan dan kemewahan? Kalian secara terbuka telah melanggar sila-sila murni. Menerima dana dari umat dengan cara tidak semestinya dan kalian menghabiskan waktu dengan sia-sia. Penampilan kalian memang biksuni, tapi hati kalian tidak.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Para biksuni terdiam. Huizhen akhirnya berterus terang pada Miaoshan dengan menunjukkan surat perintah raja.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Maafkanlah kelemahan kami, Miaoshan. Sebenarnya kami berada dalam tekanan raja. Kami memohon padamu, selamatkanlah para biksuni. Patuhi perintah Ayahandamu.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan menatap tajam mata sang biksuni.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kalian tahu, pangeran Mahasattva menjatuhkan diri dari tebing untuk memberi makan harimau yang telah membuatnya mencapai tingkat tanpa kelahiran. Raja Sivi memotong dagingnya sendiri untuk seekor merpati hingga ia mencapai penerangan di pantai Nirwana. Karena kalian yang juga telah memilih meninggalkan keluarga, seharusnya memandang tubuh ilusi ini sebagai ketidakabadian. Tubuh adalah wadah samsara. Setiap pikiran haruslah mencari pembebasan. Kenapa kalian masih takut pada kematian dan begitu mencintai kehidupan duniawi?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Para biksuni terdiam mendengar apa yang dipaparkan Miaoshan dengan tegas laiknya seorang guru mengajari muridnya. Huizhen mengucap syukur bahwa Miaoshan yang telah mencapai pencerahan. Meski begitu beberapa biksuni lain masih merasa kwatir dengan keselamatan mereka, dan mereka mulai merencanakan sesuatu.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Dalam diskusi rahasia tanpa Miaoshan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Sungguh sombong kalau ia memaksakan setiap orang harus seperti dirinya. Ia boleh saja telah mencapai pencerahan, tapi yang lain? Apa ia tidak tahu bahwa tingkat pengetahuan setiap biksuni itu berbeda-beda?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Selain itu ia dilahirkan di istana. Pasti terbiasa hidup enak. Ia mana bisa tahu penderitaan hidup di luar. Ia berpikir menjadi biksuni itu pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Kita harus memberinya tugas seberat mungkin sampai ia menyesali apa yang telah ia katakan.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Rencana itu disepakati. Sejak saat itu Miaoshan diberi pekerjaan kasar dan berat, dengan harapan keinginannya untuk menjadi biksuni segera patah. Apalagi waktu seminggu hampir habis, yang berarti jika Miaoshan masih bersikeras menjadi biksuni maka tamatlah riwayat para biksuni. Miaoshan melakukan pekerjaan yang telah diberikan padanya dengan senang hati. Ia memasak dan membersihkan dapur setiap hari. Ia hanya diberi seorang teman untuk membantunya bekerja.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Tidak ada sayuran di kebun kita. Kau yang harus mencukupi kebutuhan sayur pada waktu yang telah ditentukan,” Kata seorang biksuni yang membantu Miaoshan itu.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan segera ke ladang dan melihat memang hanya ada sedikit sayuran di sana. Ia berpikir keras bagaimana cara menyediakan sayuran yang cukup untuk dimakan semua biksuni pada esok harinya. Pada saat ia berpikir keras itulah, seekor naga tiba-tiba membantunya dengan kekuatan gaib. Pagi harinya, ladang telah dipenuhi sayuran bahkan lebih untuk beberapa hari berikutnya. Dan ketika Miaoshan harus mengambil air dari mata air sungai yang jauh, keajaiban kembali terjadi. Sebuah mata air tiba-tiba muncul di samping dapur.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Huizhen yang diam-diam mengetahui kekuatan gaib yang dimiliki Miaoshan sadar bahwa Miaoshan bukanlah manusia biasa. Tidak ada gunanya menghalangi niat puteri itu. Maka tepat pada hari ke tujuh ia menghadap raja dan menceritakan apa yang telah terjadi. Sang raja semakin dikuasai amarah langsung menemui permaisuri.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Miaoshan ternyata mempraktekkan ilmu sihir hitam di tempat para biksuni. Sungguh keterlaluan! Ia harus dihukum atas perbuatannya!”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan dipanggil kembali menghadap istana. Keputusan raja untuk memenggal kepala puteri bungsunya sudah tidak dapat diganggu gugat, meski permaisuri terus meratap memohon pengampunan bagi puterinya. Miaoshan tidak tampak tegang meski maut telah berada di depan matanya. Di hadapan para rakyat dan para pejabat, Miaoshan dengan tenang memejamkan mata saat algojo menarik pedang dari sarungnya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Ketika pedang akan menyetuh leher Miaoshan, Dewa Gunung dari Gunung Naga yang mengetahui bahwa Miaoshan adalah Bodhisatva yang akan menyelamatkan banyak mahluk, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyelamatkan Miaoshan. Langit menjadi gelap seketika. Halilintar menyambar-nyambar. Petir menggelegar. Angin menderu kencang. Saat itu Miaoshan tiba-tiba tidak lagi berada di tempatnya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Raja yang tidak mengetahui bahwa yang baru saja terjadi adalah kekuatan Dewa, menjadi sangat murka. Ia merasa puterinya telah meremehkan pengadilannya. Maka ia memerintahkan prajuritnya untuk memenggal kepala seluruh biksuni dan membakar semua vihara. Permaisuri hanya mampu menangis tersedu-sedu menyaksikan kemurkaan raja.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Jangan bersedih. Ia pasti anak iblis yang terlahir di keluarga kita. Ia justru harus dimusnakan karena telah membuat kekacauan di kerajaan kita!”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Sementara itu, Miaoshan yang telah dibawa ke kaki Gunung Naga, mendapati dirinya seorang diri. Ia mencoba melangkahkan kaki. Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang tak lain adalah jelmaan Dewa Gunung.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Gadis baik hendak pergi ke mana?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Aku ingin menyepi di atas puncak gunung ini”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Gunung ini tempat tinggal para binatang buas. Ini bukanlah tempat yang tepat untuk bermeditasi.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">”Apa nama gunung ini, Kek?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Gunung ini tempat tinggal para Naga maka disebut Gunung Naga”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Lalu bagaimana dengan pegunungan di sebelah barat itu?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Itu juga tempat kediaman para Naga. Karena gunung ini kecil maka disebut Gunung Naga Kecil sementara yang besar itu disebut Gunung Naga Besar. Tapi ada bukit di antara pengunungan ini. Namanya Xiangshan. Bukit itu tempat yang suci dan bersih, dan sangat cocok bagimu untuk menyepi.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Terima kasih, Kek. Tapi siapakah Kakek sesungguhnya?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Pengikutmu ini bukanlah seorang manusia, namun seorang dewa di gunung ini. Aku sebagai pengikutmu kelak, berikrar akan melindungimu.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan mengucapkan terima kasih sekali lagi pada kakek tua. Ia kemudian meneruskan perjalanan menuju Xiangshan sesuai petunjuk yang telah diberikan Dewa Gunung padanya. Puncak bukit Xiangshan rata. Berumput lembut dan tidak ditemukan jejak manusia. Miaoshan membangun gubuk dari reranting dan semak ilalang. Ia membuat pakaian dari dedaunan, dan meminum air embun. Selama tiga tahun ia bertapa tanpa seorangpun mengetahuinya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Sementara di istana, raja Miao Zhuangyan menderita penyakit kamala karena karma buruknya. Penyakit ini menimbulkan bekas buruk di seluruh tubuhnya. Tabib-tabib terbaik telah didatangkan. Berbagai sayembara diselenggarakan bagi siapa saja yang mampu mengobati penyakit raja akan mendapat hadiah besar. Tapi dari ke hari tak seorang pun mampu mengobati raja, bahkan penyakitnya semakin memburuk.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Suatu hari seorang biksu muncul di gerbang istana dan meminta menghadap raja. Para prajurit seketika bersiaga, kwatir biksu itu datang untuk membalas dendam.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kalian tak perlu kwatir. Katakanlah pada raja, aku tahu obat yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Jika kalian masih curiga padaku, ikatlah tanganku ini.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Perkataan biksu itu berhasil menyakinkan para prajurit, dan mereka segera melapor. Tak lama kemudian para prajurit muncul kembali dan mempersilahkan biksu itu menghadap raja.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Hamba hanya seorang biksu miskin. Kedatangan hamba ke sini karena hamba tahu obat yang dapat menyembuhkan Yang Mulia.” Ujar biksu pada raja.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Obat apakah itu, Biksu? Jika obat itu bisa menyembuhkanku, kau akan kuberi hadiah yang sangat besar.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Obat itu hanya membutuhkan dua ramuan saja, yaitu berupa tangan dan mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Semua yang hadir di situ mencemooh sang biksu, dan raja merasa telah dipermainkan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Apa kau sengaja mengejekku, Biksu? Aku akan memerintahkan pengawal menyeretmu keluar dan menyobek mulutmu yang lancang itu! Jangan sembarangan bicara! Mana ada orang yang jika tangan dan bola matanya diambil akan diam saja dan tidak marah?”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Memang benar, Yang Mulia. Orang seperti itu tidak ada di kerajaan ini. Ia berada di sebuah bukit bernama Xiangshan. Ia seorang pertapa. Pertapa inilah yang hamba maksud.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Atas saran biksu, raja memerintahkan utusannya membawa dupa persembahan ke atas pegunungan Xiangshan. Saat tiba di atas bukit, utusan segera membakar dupa dan meminta ijin untuk berbicara dengan sang pretapa.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Hamba kemari membawa titah raja Miao Zhuangyan, wahai Sang Pandita.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Pertapa membuka matanya perlahan. Matanya teduh memandang orang asing yang datang ke tempatnya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Apa yang ingin kau sampaikan, Utusan? Engkau adalah manusia pertama yang kutemui di sini.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Baginda menderita penyakit kamala selama tiga tahun. Para tabib hebat dan semua ramuan obat di negeri ini tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Seorang biksu datang ke istana dan memberi resep obat yang memerlukan dua bahan utama, yaitu tangan dan mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah. Dengan penghormatan yang sangat dalam, kami memberanikan diri memohon pada Sang Pandita agar bersedia memberikan ke dua lengan dan sepasang mata untuk menyembuhkan raja.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Sang utusan segera membungkuk dua kali. Sang Pandeta tercenung sesaat. Meski terkejut, ia tidak tampak marah.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Penyakit rajamu disebabkan oleh karena ia tidak menghormati Triratna, yaitu: Buddha, Dharma, dan Sangha. Aku akan memberikan kedua lengan dan mataku sebagai obat baginya. Tapi raja harus mengarahkan pikirannya menuju pencerahan dan berikrar akan berlindung di bawah Triratna. Dengan cara seperti itu barulah ia dapat sembuh dari penyakit yang dideranya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Biksuni Miaoshan mencungkil kedua bola matanya dengan sebilah pisau dan meminta utusan itu memotong kedua lengannya. Saat itu juga Gunung Xiangshan berguncang hebat, dan dari langit terdengar suara menggelegar: “Salam sejahtera ia yang telah mampu menyelamatkan semua mahluk hidup. Salam sejahtera bagi ia yang mampu melakukan hal-hal yang tidak mungkin di dunia ini. Semoga diberkati semesta!”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Sang utusan sangat ketakutan. Ia gemetar. Tapi sang pertapa yang berlumuran darah menenangkannya dengan ringan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Jangan takut. Segera potong kedua lenganku ini dan bawa serta dengan dua bola mataku ini. Bawa pada raja. Ingatlah pesanku tadi.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Utusan tiba di istana dan raja menerima sepasang lengan dan bola mata yang dibawanya. Raja merasa sangat malu pada biksu dan meminta biksu itu segera meramu bahan tersebut untuk diminumnya.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Tidak sampai sepuluh hari, sang raja benar-benar sembuh total dari penyakitnya. Ia bersama permaisuri, seluruh keluarga kerajaan, para menteri, dan para pelayan istana bergembira serta memberi hadiah pada biksu.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Tidak seorangpun yang dapat menyembuhkan penyakitku. Tapi engkau telah berhasil melakukannya, Guru”, kata sang raja.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Semua keajaiban ini bukan karena kekuatan hamba. Yang Mulia harus ke pegunungan Xiangshan untuk berterima kasih pada pertapa yang telah mengorbankan lengan dan matanya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Sang raja menjadi malu karena harus diingatkan kembali. Keesokan harinya ia bersama permaisuri dan kedua puterinya menyiapkan kereta kuda menuju bukit Xiangshan. Arak-arakan panjang membawa persembahan hadiah mewah untuk sang pertapa.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kuhaturkan beribu-ribu terima kasih, Wahai Sang Pertapa yang Budiman. Aku tidak mungkin sembuh tanpa kebaikan hatimu. Engkau rela menderita demi kesembuhanku. Maka hari ini aku datang bersama kerabat terdekatku untuk mengucapkan terima kasih padamu.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Semua yang hadir tertunduk sedih dan terharu saat memandang tubuh pertapa yang tidak memiliki lengan dan mata. Permaisuri memandang lekat-lekat wajah pertapa, ia merasa wajah pertapa itu mirip dengan wajah puteri bungsunya yang telah hilang. Entah kenapa, meski ia kurang yakin, ia terisak.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Oh Ibunda! Janganlah kembalikan pikiranmu pada Miaoshan. Aku adalah dirinya. Saat Ayahanda menderita penyakit kamala, anakmulah yang telah memberikan kedua tangan dan bola matanya untuk membalas kasih sayang sang raja.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Mendengar kata-kata itu, raja dan permaisuri beserta Miaoyan dan Miaoyin memeluk Miaoshan dengan tangis histeris. Para pelayan tak kuasa membendung air mata. Gunung Xiangshan kini dibanjiri air mata haru.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Wahai Dewa di surga, karena perbuatan jahatkulah, anak perempuanku telah kehilangan kedua lengan dan matanya. Aku akan menjilat kedua mata anakku dengan lidahku, dan menyatukan kembali kedua lengannya. Aku memohon bantuanMu Dewa, agar menumbuhkan kembali kedua bola mata anakku dan ,mengutuhkan kembali lengannya.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Raja menunjukkan keteguhan hatinya. Tapi sebelum mulutnya tiba di mata anaknya, Miaoshan tiba-tiba lenyap dari pelukkan mereka. Pada saat yang sama, bumi berguncang hebat. Cahaya emas memenuhi gunung. Tak lama kemudian tampaklah Sang Buddha yang tenang dan agung, dengan sinar memesona. Sang raja dan semua yang berada di puncak gunung itu segera berlutut di hadapan Bodhisatva.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Mata duniawi kami gagal mengenali kebesaranMu. Karma buruk telah kami dapatkan. Kami menmohon perlindungan dari kesalahan kami di masa lampau, dan mulai saat ini kami akan berlindung pada Triratna. Kami akan membangun kembali vihara-vihara. Kami memohon kemurahan hatiMu agar kembali pada tubuh asalmu dan ijinkan kami memberi persembahan”.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Pertapa kembali ke wujud asalnya dengan serta merta, utuh dengan kedua lengan dan matanya. Ia duduk bersila dengan tenang dan meninggal saat itu juga. Raja dan permaisuri membakar dupa dengan terisak. Mereka bersumpah di hadapan Bodhisatva.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">“Kami akan memberikan persembahan kayu wangi dan mengkremasi tubuh sucimu saat tiba di istana. Kami akan membangun sebuah stupa untukmu dan memberi persembahan.”<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Raja memenuhi janjinya. Ia mendirikan sebuah vihara yang di dalamnya diletakkan tubuh sang Bodhisatva dan di luarnya dibangun stupa. Ia membangun kembali vihara-vihara dan sebuah pagoda berlantai tiga belas di Pengunungan Xiang Shan.<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">***<o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Miaoshan mendapat gelar Dewi Guan Yin dari Sang Buddha. Guan Yin di Indonesia lebih dikenal dengan ejaan Kwan Im. Ia juga dikenal sebagai Bodhisatva Avalokitesvara. Dewi yang mampu mengasah batu menjadi jarum. Dewi yang tidak mengenal putus asa. Dalam mitologi berbeda, ada lagi kisah Kwan Im yang lain, semisal Kwan Im Seribu Tangan, Kwan Im Penjaga Laut Selatan, Kwan Im Pemberi Berkah Anak, dll. Konon ada tiga puluh delapan jelmaan Kwan Im. Dan sangat menyesal, untuk saat ini aku belum bisa menceritakannya satu persatu. Tentu kisah mitologi ini ada beberapa versi, bahkan ada yang difilmkan. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa seni visual dan seni sastra (mitologi ini masuk dalam sastra China Klasik) tentu memiliki perbedaan. Jadi harap dimaklumi saja, jika apa yang tercatat ini kurang memuaskan. Bagian-bagian yang didramatisir seperti kedua kakak Miaoshan yang jahat, ibunya yang menjadi gila, ayahnya yang menjadi buta, tidak dalam catatan ini. Apalagi kisah yang menceritakan ayah Kwan Im kemudian menjelma menjadi seekor sapi. Dongeng maupun mitologi selalu mempunyai beberapa versi. Tapi yang penting dari itu semua, kita menghikmati pesan-pesan yang dibungkus di dalamnya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div style="text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">Hanna Fransisca</span></b><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;">,<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> sastrawan tinggal di Singkawang. Telah menerbitkan bungarampai puisi</span></i> Konde Penyair Han<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> (2010), selain itu cerita pendeknya terbit dalam antologi cerpen</span></i> Kolecer & Hari Raya Hantu.<i><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Menurut pengakuan Hanna, jiwanya merasa terpanggil untuk menuliskan</span></i> Kisah Miaoshan(Guan Yin; Kwan Im).</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;"><i><span style="font-size: x-small;">Sumber : www.journalbali.com </span></i></span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;"></span><br />
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>butongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3178582753081585314.post-2391049477827693302010-12-12T17:39:00.001-08:002010-12-12T17:39:52.480-08:00KULTIVASI DAPAT MERUBAH TAKDIR<m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan Liaofan adalah seorang penulis terkenal buku peribahasa Tiongkok asal Kabupaten Wujiang, Propinsi Jiangsu. Ayah Penyair era 1533 hingga 1606, atau selama Dinasti Ming ini meninggal ketika dia masih kecil.<o:p></o:p></span></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<table border="0" cellpadding="0" class="MsoNormalTable"><tbody>
<tr><td style="padding: 0.75pt;" valign="top"><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ketika Yuan masih muda, seorang Peramal secara tepat memprediksi takdirnya, namun ia mampu mengubah nasib di tahun-tahun terakhir masa hidupnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Sebagai remaja, ibunya memintanya untuk mendalami Konfusius, dengan harapan dia mampu mendapatkan pekerjaan yang layak, serta bisa membantu sesama.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Suatu hari, dia pergi ke Kuil Ciyun. Disana dia bertemu dengan seorang pria tua yang memiliki penampilan seperti dewa Tao. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Orang tua itu berkata kepadanya, "Anda cocok menjadi pejabat. Tahun depan, Anda akan mengikuti Ujian Negara dan berhasil masuk Istana. Janganlah menyerah untuk Belajar."<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Orang tua itu bermarga Kong asal Propinsi Yunnan. Yuan pun mengundang orang tua tersebut ke rumahnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ibunya berkata, "Pria ini adalah seorang peramal ahli. Mengapa kita tidak memintanya untuk meramal untukmu? Kita akan melihat apakah prediksinya akurat atau tidak."<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Akhirnya, peramal tua itu pun menceritakan kehidupan masa lalu Yuan dengan sangat teliti, bahkan sampai pengalaman kecilnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dia kemudian meramal kehidupan Yuan, dimana dia akan lulus ujian tahunan dengan predikat Sarjana Lin, tahun itu juga. Sarjana Lin adalah Sarjana yang lulus pada ujian pertama, sehingga langsung mendapat subsidi atau beasiswa khusus dari pemerintah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Peramal tua juga meramalkan, Yuan akan mendapat predikat sarjana Gong. Sarjana Gong adalah seorang sarjana kualifikasi baik dan akan dipilih untuk menghadiri Akademi Kerajaan, akademi tertinggi di Tiongkok kuno.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Setelah Yuan lulus dari Akademi Kerajaan, ia diramalkan akan menjadi walikota di beberapa propinsi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan diramalkan akan berhenti dari pekerjaannya setelah tiga setengah tahun dan kembali ke kota asalnya. Dia akan berjalan pada tengah malam pukul 01:00-03:00 pada tanggal 14 Agustus, ketika dia berusia 53 tahun. Satu hal yang menyedihkan dalam hidup Yuan, menurut ramalan peramal tua itu, bahwa Yuan tidak akan memiliki seorang putra.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan Liaofan mencatat kata-kata Mr Kong dengan sangat rinci. Lalu ia kembali belajar Konfusius Klasik. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dalam semua ujian berikutnya, peringkatnya selalu sama dengan yang diramalkan Mr Kong. Setelah ia menjadi sarjana Lin, menurut ramalan Peramal tua Kong, ia tidak akan dipilih sebagai sarjana Gong sebelum menerima subsidi sebanyak 91 Dan dan Lima Dou (alat ukur tradisional Tingkok) beras dari Kerajaan. (Sepuluh Dou adalah sama dengan satu Dan).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Namun, Kepala Divisi Pendidikan, Tuan Tu, malah mengangkat Yuan menjadi sarjana Gong ketika ia baru menerima 71 Dan beras. Jadi, Yuan mulai menduga bahwa ramalan Peramal Tua Kong mungkin sudah tidak akurat setelah titik ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Akhirnya, Yuan percaya bahwa peringkat seseorang dan semua keberuntungan sudah ditentukan oleh Langit. Selain itu, waktu setiap keberuntungan dan promosi juga telah ditentukan. Jadi ia mengambil semuanya dengan hati ringan dan lapang, dan tidak lagi terlalu mengejar.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan terpilih sebagai sarjana Gong, dia pun pergi ke Akademi Kerajaan di Nanjing untuk meningkatkan pengetahuannya. Sebelum ia pergi ke Akademi, ia pergi ke Gunung Qixia di pinggiran kota Nanjing untuk mengunjungi Pendeta Yun Gu, seorang pendeta Buddha yang berbudi tinggi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Mereka bertemu dan berbincang-bincang di ruang meditasi Pendeta Yun Gu. Pendeta Yun Gu sangat terkejut dan bertanya, "Sejak Anda sering dating kemari, saya belum pernah melihat Anda berhasil membuang pikiran serakah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan Liaofan menjawab, "Seluruh hidup saya telah diramal secara akurat oleh Tuan Kong. Tidak mungkin saya bisa mengubahnya. Jika saya punya pikiran serakah, mencoba untuk mengejar sesuatu, itu akan berakhir sia-sia. Oleh karena itu, saya lebih suka kesederhanaan dan tidak memikirkan apa-apa. Itulah sebabnya saya tidak lagi memiliki kerakusan apapun dalam pikiran."<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Pendeta Yun Gu tertawa. Dia berkata, "Saya pikir Anda adalah orang yang luar biasa. Tanpa diduga, Anda hanyalah seorang Sarjana Biasa.”<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan Liaofan bertanya kepadanya, "Mengapa demikian?"<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Pendeta Yun Gu menjawab, "Hanya orang biasa yang akan merasa dibatasi oleh hidup dan ramalan. Seseorang yang baik tidak akan ada masalah dibatasi oleh nasib yang telah diatur. Dalam bab pertama Kitab Ching, mengatakan, ‘Sebuah keluarga yang terus mengumpulkan kebaikan dan kebajikan akan memiliki kekayaan lebih dari pengaturan sebelumnya’." <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">"Oleh karena itu, nasib seseorang bisa diubah. Saya bisa mengendalikan nasib sendiri dan menciptakan nasib sendiri. Jika saya melakukan kejahatan, saya akan mengurangi keberuntungan yang saya miliki pada awalnya, jika saya berbuat baik, saya akan mendapatkan keberuntungan. Dalam kitab Buddha, kita belajar bahwa orang bisa menjadi kaya jika ia ingin, seseorang dapat memiliki putra dan putri jika dia ingin, seseorang dapat hidup lama jika dia mau! "<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kata-kata itu memotivasi Yuan Liaofan, yang pernah terbenam dalam ilusi ramalan takdir selama bertahun-tahun. Dia mulai mengikuti kata-kata untuk mengubah hidupnya. Sejak itu, dia sangat berhati-hati dalam menjalani hidup. Bahkan di tempat-tempat di mana tidak ada orang lain di sekitarnya, dia akan melakukannya dengan baik agar tidak menyinggung langit dan bumi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ketika dia bertemu orang-orang yang tidak menyukainya dan memfitnahnya, dia akan menerimanya dengan tenang, dan tidak akan berdebat dengan orang lain.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Satu tahun setelah ia bertemu Pendeta Yun Gu, ia menghadiri ujian Kerajaan. Menurut prediksi Peramal Kong, ia akan mendapat peringkat ketiga dalam ujian ini. Namun, dia malah mendapat pertama. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan Liaofan kemudian bersumpah untuk melakukan tiga ribu perbuatan baik. Lebih dari sepuluh tahun usaha, ia selesai melakukan tiga ribu perbuatan baik. Dia bahkan punya anak setelahnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dia bertanya pada istrinya untuk mencatat perbuatan baik yang dia lakukan. Istrinya tidak tahu bagaimana menulis, jadi dia melingkari bulatan merah pada kalender, setiap kali Yuan melakukan perbuatan baik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Misalnya, ketika Yuan memberikan makanan untuk orang miskin. Kadang-kadang, lebih dari 10 lingkaran merah dalam satu hari! Beberapa tahun kemudian, ia lulus ujian akhir Kekaisaran dan menjadi Jinshi, tingkat tertinggi untuk sarjana. Beliau diangkat menjadi Walikota di Kabupaten Baodi. Pada titik ini, ia ingin melakukan 10.000 perbuatan baik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Pada Kabupaten Baodi ia menyiapkan sebuah buku, yang disebutnya "Menulis pada Menahan Hati ". Dia sangat ketat terhadap dirinya sendiri, dan mencoba untuk mendisiplinkan diri untuk tidak berbuat dan berpikiran jahat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Setiap pagi ketika ia menangani tuntutan hukum sipil dalam ruang sidang, dia akan meminta pelayannya untuk mengantarkan buku kecil ini ke meja kantornya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Setiap hari, ia juga akan merekam semua perbuatan baik dan perbuatan buruk yang telah dilakukannya pada hari itu dalam buku kecil ini. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ketika senja tiba, ia menata meja di halaman belakang rumahnya, menganti pakaian resmi, dan membakar dupa untuk memberi salam hormat kepada para dewa-dewa di surga. Rutinitas itu dilakukannya setiap hari.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Suatu ketika, istrinya khawatir bahwa ia terlalu banyak mengurus tugas resmi dan ia tidak akan memiliki cukup waktu untuk melakukan 10.000 perbuatan baik. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dia berkata, "Sekarang Anda telah bersumpah untuk melakukan 10.000 perbuatan baik, tetapi tidak banyak perbuatan baik yang bisa dilakukan di ruang sidang. Saya benar-benar tidak tahu apakah kita bisa menyelesaikan 10.000 perbuatan Baik!"<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Malam berikutnya, Yuan bermimpi bertemu Dewa. Dia pun mengatakan kepada dewa bahwa dia mungkin tidak punya cukup waktu untuk melakukan 10.000 perbuatan baik dan menjelaskan alasannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dewa menjawab, "Selama Anda menjabat Walikota, Anda mengurangi uang pajak dan pajak tanaman untuk warga sipil. Anda akan dapat mencapai tujuan Anda melakukan 10.000 perbuatan baik. "<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Memang, Yuan berpikir bahwa pengenaan pajak bagi para petani di Kabupaten Baodi terlalu berat, dan dia menurunkan hampir 50%. Karena itu ia telah melakukan perbuatan baik untuk semua petani di daerah ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Oleh karena itu, Yuan terus melakukan perbuatan baik selama sisa hidupnya. Peramal Kong meramalkan bahwa ia akan meninggal pada usia 53 tahun, tapi dia tetap sehat sampai usia 69. Dia menulis tentang pengalamannya mengubah nasibnya dalam buku kecil ‘Empat Peringatan Perbuatan Hidup’, dan ia menurunkan buku ini kepada putranya dan generasi berikutnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Cerita Yuan benar-benar membangkitkan inspirasi. Dalam kebudayaan tradisional Tiongkok, intisari cerita budipekerti adalah "kebaikan akan dibayar dengan kebaikan, dan Kejahatan akan dibayar dengan kejahatan". Pengalaman pribadi Yuan Liaofan, tentang merubah suratan takdir adalah sebuah contoh nyata kultivasi atau mengolah dan meningkatkan watak dan kualitas moral.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Yuan Liaofan mengikuti saran Pendeta Yun Gu, menghormati dan menyembah Langit dan Tuhan. Berbuat baik dan memperbaiki kesalahan, serta membayar hutang karma. Hal ini membuktikan bahwa dia adalah seorang Kultivator. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Mengutip dari buku Zhuan Falun karya Master Li Hongzhi, yang membimbing para pengikutnya berkultivasi dikatakan bahwa masih ada satu cara yang dapat mengubah seluruh kehidupan manusia, dan ini adalah cara satu-satunya. Yakni mulai sekarang orang ini menempuh sebuah jalan Xiulian (berkultivasi dan melatih diri). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Jadi, dengan memperbaiki kualitas moral maka takdir jalan hidup seseorang akan diatur kembali oleh Tuhan.(kebijakajernih.net/snd/waa) <o:p></o:p></span></div></td> </tr>
</tbody></table><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Sumber : erabaru.net</div>butongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3178582753081585314.post-47567719639408960622010-12-11T06:16:00.000-08:002010-12-11T06:17:53.702-08:00Memahami Dualitas dan Non-dualitas<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <span style="font-size: small;"><m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Oleh : John Kabatt Zinn<o:p></o:p></span></div></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa ketika kita mampu melampaui dualitas, kita akan jelas melihat bahwa ada sesuatu yang nyata. Tapi yang tidak nyata itu tidak bertentangan dengan yang nyata. Apa yang tidak nyata hanya tidak nyata. Ini adalah di luar realitas, terpisah dari realitas. Tapi itu bukan dan tidak dapat bertentangan dengan realitas. Sesuatu yang nyata tidak dapat memiliki lawannya.<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tidak ada yang bisa mengancam yang nyata.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dengan demikian, langkah pertama pada jalan spiritual adalah untuk melampaui dualitas. Dan itulah yang dinyatakan Yesus begitu indah ketika ia berkata, “Carilah dahulu kerajaan Tuhan dan KebenaranNya.” Carilah pertama kali “kebenaran” tertinggi Tuhan. Ini juga yang dinyatakan oleh sang Buddha dalam definisi delapan jalur kebenaran Buddha. Banyak umat Buddha telah salah menafsirkan delapan jalur kebenaran ini dan percaya bahwa hal itu dapat didefinisikan dalam istilah manusia. Seperti, apa itu mata pencaharian yang benar. Apa itu tindakan yang benar. Apa itu berpikir yang benar. Apa itu hubungan yang benar dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tapi kita lihat, definisi sejati dari delapan jalur kebenaran adalah bahwa kita harus berusaha mencapai “kebenaran” dari Tuhan yang berada melampaui dualitas. Tapi bagaimana Anda bisa meraih kebenaran tersebut, kebenaran yang lebih tinggi? Kita dapat melakukannya hanya ketika kita menyadari kebenaran mulia bahwa segala sesuatu yang muncul dari dualitas akan menyebabkan penderitaan, dan bahwa penyebab penderitaan kita adalah keinginan kita yang salah yang didasarkan pada kemelekatan kita terhadap hal-hal duniawi, baik itu kesenangan duniawi atau keinginan untuk menjadi benar dalam arti manusia dan merasa bahwa kita lebih baik dari mereka yang kita definisikan sebagai salah karena mereka berbeda dari Anda atau memiliki pandangan yang berlawanan dari kita.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ada banyak sekali orang di planet ini yang menghabiskan seluruh hidup mereka dengan berusaha untuk menunjukkan keunggulan dan merasa lebih baik daripada yang lain. Mereka selalu melihat diri mereka selalu dalam persaingan dengan orang lain dan ini terjadi mulai dari orang yang biasa hingga yang berkedudukan tinggi, seperti kata pepatah, hidup adalah perjuangan, untuk memiliki rumah yang lebih baik, mobil yang lebih besar dan barang-barang material yang lebih banyak. Dan itu juga terjadi hingga pada elite kekuasaan yang ingin memiliki kekuasaan lebih dari orang-orang lain dalam kelompok-kelompok elite kekuasaan lain dimana mereka saling membandingkan diri mereka sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kita dapat menghabiskan seumur hidup kita melakukan pencarian yang tidak masuk akal untuk mencari sesuatu dianggap benar oleh kebanyakan orang. Atau kita dapat mencapai realitas dari kebenaran Tuhan. Namun untuk meraih kebenaran Tuhan kita harus bersedia untuk secara sadar dan sengaja memilih untuk melepaskan kemelekatan kita untuk hal-hal di dunia materi. Selama kita melekat pada kebenaran orang lain, untuk menjadi populer atau tidak ingin dilihat sebagai orang tidak berguna atau diejek untuk keyakinan, gaya hidup atau tindakan kita, selama kita melekat pada apa pun, pada setiap penampilan kita di dunia ini, untuk berdiri di antara manusia lain, maka kita tidak akan bebas untuk memahami kebenaran yang lebih tinggi dari Tuhan atau untuk mengekspresikan kebenaran itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Buddha telah mengajarkan pada kita 2.500 tahun yang lalu, bahwa ketidakmelekatan adalah kunci untuk ketenangan pikiran. Dan ajaran ini adalah benar. Ini adalah ajaran abadi. Ini adalah ajaran kekal. Namun seperti juga Yesus telah tunjukkan pada kita, tidak ada ajaran yang dinyatakan dalam kata-kata yang didasarkan pada ego manusia. Apa pun yang dinyatakan dalam kata-kata tersebut banyak didasarkan oleh pikiran dualistik dan ditafsirkan sesuai dengan ekstrim ini atau ekstrim itu atau bahkan konsep palsu Jalan Tengah sebagai sesuatu yang benar di antara dua ekstrem dualistik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Bahkan konsep Jalan Tengah dapat disalahartikan. Karena sesungguhnya, Buddha tidak pernah menyuruh orang untuk datang ke titik tengah antara dua ekstrem dualistik. Buddha mengajarkan mereka untuk melampaui seluruh skala dualitas, kesadaran yang melampaui dualitas. Dan ini adalah esensi dari ajaran Buddha. Namun untuk mengatasi dualitas kita harus bersedia melepaskan keinginan, keyakinan, kemelekatan yang muncul dari dualitas. Dan karena itu kita harus datang ke titik di mana kita lebih mencintai kebenaran Tuhan daripada kebenaran mausia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; line-height: normal; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dan ini pada akhirnya harus menjadi keputusan sadar yang kita buat. Sesungguhnya, tidak semua orang telah siap untuk membuat keputusan itu. Tapi yang pasti sudah siap atau segera siap adalah mereka-mereka yang telah menjadi spiritual. Dan jika kita merenungkan konsep-konsep ini, kita akan datang ke titik di mana kita akan merasakan secara spontan, keinginan mendadak untuk mengalami realitas yang lebih tinggi dari Tuhan yang tiba-tiba membuat kita mudah untuk melepaskan beberapa kemelekatan kita. Dan sekali kita menyadari betapa mudahnya untuk melepaskan satu kemelekatan, kita dapat membangun sebuah momentum untuk melepaskan kemelekatan secepat kita menemukannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><o:p>Sumber : <span style="font-size: x-small;">henkykuntarto.wordpress.com</span> </o:p></span></div>butongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3178582753081585314.post-28517785765722085312010-12-08T19:41:00.001-08:002010-12-08T19:41:55.806-08:00Zhuge Liang<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang adalah ahli strategi militer dari negara Han</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pada zaman Tiga Negara (220-280 A.D.). Dia adalah ahli strategi yang paling</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">cerdik dan terkenal dalam sejarah Tiongkok. Dia acapkali dilukiskan sedang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">bangau.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Zhuge Liang berumur 9 tahun, dia masih tidak dapat berbicara.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Keluarganya sangat miskin. Ayahnya menyuruh dia menggembalakan domba di</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dekat sebuah bukit di sebuah gunung. Di atas gunung ada sebuah kuil Pendeta</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tao dimana tinggal seorang Pendeta Tao tua dengan kepala penuh dengan uban.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setiap hari Pendeta Tao tersebut berjalan-jalan santai di luar kuil. Ketika</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ia berjumpa Zhuge Liang, dia mencoba berkomunikasi dengan anak laki-laki</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tersebut dengan menggunakan isyarat tangan. Zhuge Liang juga senang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"berkomunikasi" dengan Pendeta Tao tersebut dengan isyarat tangan. Pendeta</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tao itu menjadi sangat menyayangi Zhuge Liang yang pintar dan menawan itu.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia mulai mengobati masalah kebisuan anak laki-laki itu. Tidak lama kemudian</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang bisa berbicara!</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang sangat gembira ketika akhirnya dia bisa bicara. Dia pergi</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">mendaki menuju ke kuil Pendeta Tao tersebut untuk mengucapkan terima kasih.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendeta Tao tersebut memberitahukannya, "Ketika kau pulang ke rumah, katakan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pada orang tuamu bahwa saya mengangkatmu sebagai murid dan saya akan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">mengajari kamu membaca. Saya juga akan mengajarimu seni astronomi, geografi</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan menerapkan teori Ying dan Yang di dalam strategi militer. Jika orang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tuamu setuju, kamu harus hadir di sekolah setiap hari dan kamu tidak boleh</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">membolos!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sejak saat itu, Zhuge Liang menjadi murid Pendeta Tao tua tersebut. Hujan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">atau terang, Zhuge Liang akan mendaki gunung untuk menerima pelajarannya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia adalah seorang anak yang sangat pintar dan rajin yang sangat serius</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dalam pelajarannya. Dia juga mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Pendeta</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tao tersebut tidak pernah harus mengajari segala sesuatunya sampai dua kali.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dengan sendirinya Pendeta Tao tersebut menjadi semakin menyayanginya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Delapan tahun berlalu dengan cepatnya dan Zhuge Liang menjadi seorang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">remaja.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Suatu hari ketika Zhuge Liang seperti biasanya turun gunung, dia melewati</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">sebuah biara yang telah ditinggalkan, terletak di tengah-tengah gunung.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tiba-tiba datang hembusan angin yang sangat kuat, diikuti dengan badai</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">petir. Zhuge Liang tiada pilihan lain selain berlari masuk ke biara yang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">telah ditinggalkan itu untuk menghindari badai. Di sana ada seorang wanita</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">muda yang belum pernah dijumpai keluar untuk bertemu dengannya. Dia memiliki</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">sepasang mata yang besar dan alis yang tipis. Dia begitu cantiknya</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">sampai-sampai Zhuge Liang hampir salah mengiranya adalah seorang dewi. Dia</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">segera tertarik dengan wanita muda tersebut.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika badai berhenti, wanita cantik itu menemui dia di depan pintu dan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">berkata padanya dengan tersenyum, "Karena sekarang kita sudah saling</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">berjumpa. Kamu bebas untuk mampir dan menikmati secangkir teh kapanpun kau</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ingin beristirahat dalam perjalananmu turun atau naik ke gunung." Begitu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang berjalan keluar dari biara itu, dia merasa curiga. "Mengapa saya</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tidak mengetahui ada orang yang tinggal di biara ini sebelumnya?" pikirnya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sejak hari itu, Zhuge Liang mulai sering mengunjungi biara tersebut. Setiap</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">kali wanita cantik itu selalu menghiburnya dengan ramah tamah. Dia memasak</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">makanan yang enak untuknya dan selalu membujuknya untuk tinggal lebih lama.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah makan malam mereka selalu berbincang-bincang dengan seru dan bermain</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">catur. Dibandingkan dengan kuil Pendeta Tao, biara tersebut bagaikan surga.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Selalu memikirkan wanita itu mengalihkan perhatiannya dari pendidikannya dan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dia mulai kehilangan semangat untuk belajar. Dia semakin lama semakin kurang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">perhatiannya terhadap ajaran dari Pendeta Tao. Dia juga menjadi pelupa dan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">mengalami kesulitan dalam mempelajari buku pelajaran baru.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendeta Tao tua itu menemukan masalahnya. Suatu hari dia memanggil Zhuge</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Liang dan menarik napas panjang. "Lebih mudah menghancurkan sebuah pohon</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">daripada menanam sebuah pohon!" ujarnya. "Saya telah menyia-nyiakan banyak</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tahun untuk kamu!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang menundukan kepalanya karena malu dan berkata, "Guru, saya tidak</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">akan mengecewakan anda lagi atau menyia-nyiakan ajaran anda!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Saya tidak mempercaimu," kata Pendeta Tao tua. "Saya tahu kamu adalah</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">seorang anak yang sangat cerdas, karena itu saya ingin mengobati penyakitmu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan memberimu sebuah pendidikan yang layak. Delapan tahun terakhir ini kamu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">telah sangat dalam pendidikanmu, jadi saya berpikir bahwa kerja keras untuk</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">mendidikmu adalah pantas. Tetapi sekarang kamu melalaikan pendidikanmu.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Bagaimanapun pandainya kamu, kamu tidak dapat kemana-mana jika kamu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">terus-menerus seperti ini! Sekarang kamu berjanji padaku untuk tidak akan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pernah lagi mengecewakan aku. Bagaimana saya dapat mempercayai kata-katamu?"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendeta Tao tua melanjutkan, "Semua ada penyebabnya." Kemudian dia menunjuk</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ke sebatang pohon yang terbungkus oleh banyak tumbuhan merambat yang tebal</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">di halaman. "Lihat pohon itu," katanya. "Mengapa kamu pikir pohon itu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">setengah hidup dan sedang berjuang dalam setiap pertumbuhannya?"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Tanaman merambat yang melilit pohon menghalangi pertumbuhannya!" jawab</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Tepat sekali! Pohon ini mengalami kesulitan untuk tumbuh di gunung cadas</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dengan tanah yang sedikit ini. Tetapi dia tetap tumbuh karena dia teguh</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">untuk mengembangkan akar dan cabangnya. Dia tidak takut udara panas maupun</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dingin. Tetapi, ketika tanaman merambat membungkusnya, dia tidak dapat</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tumbuh lebih tinggi lagi. Lucukan bagaimana tanaman merambat yang lembut itu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">bisa mengalahkan pohon yang tinggi dan tegap itu!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang sangat pintar, jadi dia segera memahami apa yang dimaksud oleh</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Gurunya. Dia bertanya, "Guru, anda mengetahui kunjungan saya ke biara itu"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendeta Tao tua berkata, "Hidup di dekat air, seseorang akan mempelajari</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">sifat alami ikan. Hidup di gunung, seseorang akan mempelajari bahasa burung.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Saya telah mengamati kamu dan tingkah lakumu. Bagaimana mungkin hubungan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">asmaramu luput dari perhatianku?"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia berhenti sebentar sebelum memberitahukan muridnya dengan tatapan yang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">serius, "Biar kuberitahu kamu kebenaran mengenai wanita cantik itu. Dia</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">bukan manusia. Dia adalah burung bangau dewa di surga. Dia telah diusir</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">keluar dari istana langit sebagai hukuman karena telah mencuri dan memakan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">buah persik Ratu Langit. Dia datang ke dunia manusia dan menjelma menjadi</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">seorang wanita cantik. Dia adalah bangau dewa yang telah rusak moralnya yang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tahunya hanya mencari kesenangan. Kamu telah terpedaya oleh penampilannya,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">kamu telah menyia-nyiakan tidak hanya waktumu saja. Jika kamu membiarkan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dirimu kehilangan kemauanmu, kamu akan kehilangan segalanya! Selain itu,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">jika kamu tidak menuruti kehendaknya, akhirnya dia akan menyakitimu.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sampai waktu itu Zhuge Liang baru menyadari keseriusan dari petualangannya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dengan cemas dia meminta gurunya cara mengatasinya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendeta Tao tua berkata, "Bangau dewa tersebut mempunyai kebiasaan pada</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tengah malam menjelma kembali ke bentuk semulanya dan terbang ke sungai</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">langit untuk mandi. Ketika dia menjauhi biara, kamu harus masuk ke kamarnya</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">dan bakar jubahnya. Dia mencuri jubah tersebut dari Istana Langit. Tanpa</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">jubah, dia tidak akan dapat menjelma menjadi seorang wanita cantik.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang berjanji untuk mengikuti instruksi Gurunya. Sebelum ia pergi,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Gurunya memberikan sebuah tongkat dengan ukiran kepala naga di ujung</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">atasnya. Dia memberitahu Zhuge Liang, "Ketika bangau dewa tersebut</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">mengetahui kebakaran di dalam biara, dia akan segera terbang kembali dari</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">sungai langit. Dia akan menyadari bahwa kamu telah membakar jubahnya dan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">akan menyerang kamu. Ketika itu terjadi, kau harus memukulnya dengan tongkat</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">ini! Sangatlah penting untuk kau ingat dan mengerjakan apa yang telah aku</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">beritahukan kepadamu!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tengah malam, diam-diam Zhuge Liang pergi ke biara tersebut. Dia membuka</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">kamar wanita itu dan menemukan jubahnya di atas ranjang. Dia segera membakar</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">jubah tersebut.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika bangau dewa sedang mandi di sungai langit, tiba-tiba dia merasa</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">jantungnya sakit. Dia melihat ke arah biara dan melihat api. Dia segera</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">terbang ke bawah dan melihat Zhuge Liang telah membakar jubahnya. Dia</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">menghampiri Zhuge Liang dan berusaha menyerang matanya dengan paruh. Zhuge</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Liang mempunyai reflek yang cepat. Dia mengangkat tongkatnya dan memukul</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">jatuh bangau dewa. Kemudian dia menangkap ekor bangau itu. Bangau dewa itu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">memberontak dan berhasil meloloskan diri, tetapi dia kehilangan bulu ekornya</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pada Zhuge Liang.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia menjadi seekor bangau dengan ekor botak. Dia menjadi malu dengan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">penampilannya, sehingga dia berhenti mandi di sungai langit. Dia juga tidak</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">berani memasuki Istana Langit untuk mencuri jubah lagi, jadi dia tidak punya</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pilihan lain selain tetap tinggal di dunia manusia selamanya dan hidup</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">diantara bangau biasa.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Untuk mengingatkan dirinya sendiri akan pelajaran ini, Zhuge Liang menyimpan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">bulu ekor bangau itu.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sejak hari itu, Zhuge Liang menjadi semakin rajin. Dia akan menghafal semua</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">yang diajarkan oleh Gurunya dan semua buku pelajaran. Dia benar-benar</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">menyerap apa yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkannya dengan mudah.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setahun telah lewat. Tepat pada hari ia membakar jubah bangau dewa setahun</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">yang lalu, pendeta Tao tua memberitahukannya dengan sebuah senyuman lebar,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Muridku, kau telah belajar dibawah pengawasanku selama sembilan tahun. Saya</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">telah mengajarimu semua yang harus kau pelajari dan kamu telah mempelajari</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">semua buku pelajaran di sini. Ada sebuah pepatah, "Guru membawamu ke pintu</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">masuk, dan terserah padamu untuk berlatih kultivasi.' Sekarang kamu berusia</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">18 tahun. Sudah saatnya kamu meninggalkan rumah dan mengembangkan karirmu!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Zhuge Liang mendengar bahwa ia telah menyelesaikan pendidikannya, dia</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">memohon gurunya untuk mengajarinya lagi. "Guru! Semakin banyak saya belajar,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">saya merasa semakin rendah hati. Saya merasa masih banyak yang harus saya</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pelajari dari anda!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Pendidikan sejati berasal dari kehidupan nyata. Kau harus belajar</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">menerapkan pengetahuanmu didalam kehidupan dan merancang pemecahan yang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">berbeda untuk situasi yang berbeda! Sebagi contoh, kau telah belajar sebuah</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pelajaran yang penting dari kunjunganmu dengan bangau dewa bahwa seseorang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tidak seharusnya tergoda oleh nafsu atau perasaan. Ini adalah pelajaran</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">berguna yang diperoleh dari pengalaman nyata. Dengan hal itu didalam</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">pikiran, kamu tidak akan dibuat binggung oleh permukaan maya dari dunia ini.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu. Kamu harus melihat segalanya dalam</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">bentuk sejatinya. Ini adalah nasihat perpisahan saya kepadamu! Saya akan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">meninggalkanmu hari ini."</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Guru, kemana Anda akan pergi?" dengan heran Zhuge Liang bertanya. "dimana</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">saya dapat menemuimu atau mengunjungimu di kemudian hari?"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">"Saya akan keliling dunia dan tidak akan menetap lagi."</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tiba-tiba Zhuge Liang merasakan air mata yang hangat menetes dari matanya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia berkata, "Guru! Sebelum anda pergi, anda harus memberikan aku kesempatan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">untuk bersujud kepada anda dan berterima kasih kepada anda atas pendidikan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">yang anda berikan padaku!"</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kemudia Zhuge Liang bersujud kepada Gurunya. Ketika dia berdiri, Pendeta Tao</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tersebut telah menghilang.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendeta Tao itu meninggalkannya sebuah jubah dengan gambar patkwa. Zhuge</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Liang sering memikirkan Gurunya; karena itu, ia sering memakai jubah dengan</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">gambar patkwa sebab memberikannya perasaan bahwa Gurunya berada di</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">sampingnya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Zhuge Liang tidak pernah lupa nasihat Gurunya, terutama nasihat</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">perpisahannya. Dia membuat kipas dari bulu ekor bangau dewa untuk</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">mengingatkan dirinya sendiri untuk sangat berhati-hati seumur hidupnya. Ini</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">adalah cerita dibalik kipas bulu terkenal yang dibawa oleh Zhuge Liang.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div>butongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3178582753081585314.post-70789881706357695262010-12-08T19:25:00.001-08:002010-12-08T19:26:07.946-08:00Legenda Delapan Dewa: Zhang Guolao<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
p
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-margin-top-alt:auto;
margin-right:0in;
mso-margin-bottom-alt:auto;
margin-left:0in;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Zhang Guolao, disebut juga Zhang Guo, adalah salah satu dewa dalam aliran Tao. Menurut buku “Tang Shu” (buku mengenai Dinasti Tang), Zhang Guolao benar-benar hidup di Zhong Tiao Shan, provinsi Shanxi. Dia berhasil kultivasi hingga mencapai keabadian. Kaisar Tang Gaozong berulang kali mengundangnya datang ke istana namun ia secara sopan selalu menolak. Permaisuri Wu Zetian berusaha memerintahkan Guolao datang kepadanya. Untuk menghindari permintaan tersebut, Guolao berpura-pura mati di depan kuil. Saat itu sedang musim panas, jadi tubuhnya mulai terurai dan berbau tak enak. Mendengar hal itu, Wu Zetian tidak berusaha lagi. Namun tak lama kemudian, seseorang melihat Guolao di Gunung Heng. <o:p></o:p></span></span></div><br />
<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Alasan Tang Xuanzhong berkali-kali mengundang Guolao adalah ingin menanyakan bagaimana cara mencapai keabadian. Saat melihat Guolao sangat tua renta, dia bertanya kepada Guolao, “Anda telah memperoleh Tao, namun kenapa Anda terlihat sangat tua, dengan rambut yang sudah tinggal beberapa lembar dan gigi yang sudah banyak ompong?” Zhang Guolao menjawab, “Saat mencapai setua ini, saya tidak menemukan metode apapun, jadi saya terlihat seperti ini.”Ini memalukan. Tapi jika saya mencabut rambut dan gigi saya, mungkin akan tumbuh yang baru?” Lalu, dia langsung melakukannya. Dia mencabut rambutnya yang tinggal beberapa helai tersebut, juga mencabut giginya saat itu juga. Kaisar yang melihatnya kaget dan sedikit takut, lalu menyuruh pengawalnya untuk mengantar Guolao pulang beristirahat. Tak lama kemudian, mereka kembali lagi ke istana, tapi penampilan Guolao sudah berubah total, tumbuh rambut hitam tebal di kepalanya dan gigi putih yang lengkap menghiasi senyumnya. Semua pejabat istana termasuk kaisar terperangah melihat perubahan itu dan bertanya kepada Guolao apa metode rahasia untuk mencapai muda kembali. Zhang Guolao menolak memberi tahu.<o:p></o:p></span></span></div><br />
<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Suatu hari, Kaisar Tang Xuanzong pergi berburu dan mendapatkan seekor rusa besar. Rusa itu agak beda dengan yang lainnya. Pada saat akan dibunuh, Zhang Guolao kebetulan lewat dan menghentikan kaisar. Dia berkata, “Ini rusa khayangan yang telah hidup lebih dari ribuan tahun. Kaisar Han Wudi juga dulu pernah menangkapnya, saya melihatnya dan memberitahukannya hal ini juga, lalu beliau melepaskannya.” Kaisar Tang Xuanzhong bertanya, “Bagaimana Anda ingat ini rusa yang dulu Anda lihat? Ada banyak sekali rusa di dunia ini, dan kejadian itu sudah pasti lama sekali sebelum Anda hidup.” Zhang Guolao menjawab, “Saat Kaisar Han Wudi melepaskan rusa itu, ia memberikan tanda di tanduk kiri rusa itu dengan sepotong metal perunggu.” Lalu Kaisar menyuruh pengawalnya untuk memeriksa tanduk kiri rusa itu dan benar-benar menemukan metal perunggu yang bertuliskan angka. Kaisar bertanya, “Kapan Kaisar Han Wudi pergi berburu menangkap rusa ini?” Sudah berapa lama sampai sekarang?” Zhang Guolao menjawab, “Kejadian itu tepatnya 825 tahun yang lalu.” Kaisar Tang Xuanzhong menyadari, ucapan Guoalao sepenuhnya benar. <o:p></o:p></span></span></div><br />
<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Zhang Guolao punya kebiasaan unik, yaitu menunggang keledai putih secara terbalik, sehari berjalan bisa mancapai 10.000 Li. Tentu saja keledai putih itu juga merupakan keledai khayangan, yang bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam tas saat ia sedang tak diperlukan tuannya. Ia selalu menunggang keledai dalam posisi yang terbalik untuk mengingatkan manusia akan kekeliruannya.<o:p></o:p></span></span></div><br />
<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dalam buku "Zhuan Falun" tertulis demikian, Zhang Guolao menunggang keledai secara terbalik. Dia menemukan bahwa dengan berjalan ke depan berarti mundur ke belakang, manusia makin lama makin jauh terpisah dari karakter alam semesta. Dalam proses evolusi alam semesta, terutama sekarang setelah memasuki arus pasang komoditi ekonomi, banyak orang yang moralnya sangat rusak, makin lama makin jauh terpisah dari karakter alam semesta Zhen, Shan, Ren (sejati-baik-sabar). Orang-orang di tengah manusia biasa yang mengikuti pasang surutnya arus tidak merasakan taraf kerusakan moral manusia, oleh karena itu sebagian orang masih menganggapnya hal yang baik, hanya orang yang telah meningkat dalam Xiulian Xinxing (kultivasi watak/moral) sekali menoleh ke belakang, baru insyaf bahwa kerusakan moral umat manusia telah sampai pada tahap yang demikian mengerikan. <o:p></o:p></span></span></div><br />
<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><span style="font-size: x-small;">Sumber: erabaru.net</span><o:p></o:p></span></span></div><br />
<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>butongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3178582753081585314.post-12401429244998874312010-12-08T19:14:00.001-08:002010-12-08T19:16:55.253-08:00Legenda Delapan Dewa: Li Tieh Kuai (si Tongkat Besi).<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CUsers%5CJames%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <span style="font-size: small;"><m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 415 0;}
@font-face
{font-family:Calibri;
panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-520092929 1073786111 9 0 415 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin-top:0in;
margin-right:0in;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
p
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-margin-top-alt:auto;
margin-right:0in;
mso-margin-bottom-alt:auto;
margin-left:0in;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-fareast-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
.MsoPapDefault
{mso-style-type:export-only;
margin-bottom:10.0pt;
line-height:115%;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ada delapan dewa yang cukup dikenal oleh masyarakat China, dan menjadi legenda dari masa ke masa. Salah satu diantaranya adalah Li Tieh Kuai (si Tongkat Besi).<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dongeng mengenai si Tongkat Besi ini banyak sekali. Ada yang mengatakan bahwa dewi Xiwangmu-lah yang menjelmakannya menjadi dewa tersebut dan dikukuhkannya sebagai pendiri agama di Donghua, lalu menghadiahi sebuah tongkat besi padanya. Versi lain mengatakan bahwa dia bernama asli Hungshui yang sering mengemis di kota, dan dihina orang, kemudian dia melempar ke udara tongkat besinya yang kemudian menjadi seekor naga terbang, dia menunggangi naganya pergi ke langit kemudian berubah menjadi dewa. Sedangkan satu versi lain mengatakan bahwa Lixuan bertemu dengan Taisang Laojun dan mendapat ajaran Dao (Tao). Cerita berikut ini adalah mengenai kisah si Tongkat Besi bertemu dengan Taisang Laojun.<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Si Tongkat Besi bukanlah manusia biasa, dia berbakat dan terpelajar, berperawakan kekar, memiliki wajah tampan dan rupawan serta sopan; berperangai riang, serta menguasai ilmu tentang misteri alam semesta. Sejak muda tidak suka akan hal dan urusan duniawi, tapi mengagumi prinsip ilmu gaib dan ajaran Tao. Dia berpendapat bahwa langit dan bumi tidak nyata, hidup manusia adalah ilusi belaka. Hasrat dan keinginan serta nafsu duniawi, semuanya bagai kapak yang tajam. Baik prestasi, kekayaan, pangkat serta kedudukan tinggi itu semua adalah racun anggur yang memikat hati manusia. Walaupun agung bagaikan putra kayangan sekalipun serta kekayaannya terdapat di mana-mana, namun semua itu hanyalah awan yang melayang. Lagi pula semua itu berasal dari tiada, sehingga yang datang pun pasti akan kembali ke asalnya yang tiada, ini adalah hukum alam yang tidak berubah. <o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sesungguhnya kehidupan manusia itu mempunyai lingkungan kesenangan tersendiri, buat apa harus tenggelam dalam hubungan perasaan dan menyia-nyiakan waktu. Oleh karena itu dia bertekad berkultivasi sejati. Maka berpamitlah ia kepada teman dan sanak keluarganya, pergi mencari sebuah lembah indah yang sunyi dan sepi. Disusunnya bebatuan menjadi sebuah pintu, menganyam alang-alang menjadi tikar. Menjernihkan jiwa dan membersihkan hati, bertaubat dan berlatih raga berkultivasi jiwa, lupa akan makan dan tidur, beberapa tahun pun berlalu. <o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada suatu hari, teringat olehnya bahwa nama Taisang Laojun dan ajaran Tao-nya yang tersohor dan dikenal di mana-mana itu tinggal di gunung Huasan, kenapa tidak berguru padanya? Oleh karena itu berangkatlah ia siang dan malam, menahan lapar dan haus menempuh perjalanan yang sulit, akhirnya tibalah ia digunung Huasan, dan berguru pada Taisang Laojun. Dengan ajaran intisari dan filosofi Tao yang diberikan oleh Laojun, terbukalah batin si Tongkat Besi dan sirnalah segala hal kerikatan duniawi di benaknya. Setelah meninggalkan gunung Huasan, maka si Tongkat Besi pun semakin tebal ajaran filsafat serta kokoh ilmunya.<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Suatu hari, datanglah Taisang Laojun menunggang seekor bangau, mengajaknya pergi berjalan-jalan ke daerah kayangan barat selama sepuluh hari. Sepuluh hari kemudian, si Tongkat Besi berpesan kepada muridnya yang bernama Yangzi: "Roh saya akan meninggalkan tubuhku untuk pergi ke gunung Huasan sesuai dengan janji pada Taisang Laojun dan jasadku akan tinggal di sini, jika dalam waktu tujuh hari, roh saya tidak kembali ke tubuhku maka kamu boleh mengremasi tubuhku. Namun dalam tujuh hari ini, kau harus menjaganya baik-baik, jangan sampai melukainya, dan jangan sekali-sekali mengingkari kata-kataku ini". Setelah selesai berpesan, si Tongkat Besi pun duduk bermeditasi, dan rohnya meninggalkan jasadnya, untuk pergi ke dunia lain bersama Taisang Laojun.<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sang murid Yangzi yang mendapat tugas untuk menjaga jasad gurunya itu menjalankan amanat sang guru dengan baik, siang dan malam tidak melalaikannya. Sampai hari keenam, tiba-tiba datanglah seorang keluarganya dengan cepat menghampiri dan berkata dengan gugup: "Ibu sakit sangat gawat, hampir hilang kesadarannya dan hanya menunuggu dan ingin melihat kamu seorang, tolonglah cepat pulang". Yangzi menangis tersedu-sedu dan berkata: "Ibu dalam kondisi kritis, namun roh guru pun belum kunjung tiba, seandainya saya pergi meninggalkannya, siapa yang akan menjaga jasadnya nanti." <o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Keluarganya berkata: "Jika manusia sudah mati, maka tidak akan hidup kembali, apalagi sudah enam hari lamanya, organ tubuhnya seperti paru-paru dan hatinya pasti sudah busuk, bagaimana bisa hidup lagi, sungguh sangat bodoh kamu! Saya berpendapat bahwa gurumu pergi enam hari dan belum kembali, dia sudah berdosa karena mengingkari janjinya. Jika orang tuamu meninggal dan melayat pun kamu tidak keburu, itu akan menjadi penyesalan seumur hidup. Lebih baik segera kau perabukan jasadnya dan pulang untuk merawat ibu di rumah." Selesai mendengar, hati Yangzi pun ragu. Tapi keadaan memerlukan keputusan tegas, tidak bisa ragu-ragu lagi, turuti saja kata-kata anggota keluarganya.<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lalu Yangzi menyiapkan kayu bakar dan meletakkan jasad guru di atasnya, mempersiapkan sesaji dan kuplet duka cita, menangis sembari menyembahyangi roh gurunya itu. Dalam kuplet duka cita itu tertulis: Ibu dalam kondisi sakit parah, namun roh guru pun belum kunjung datang jua, kata-kata guru wajib untuk dilaksanakan, namun keselamatan nyawa ibu juga menjadi pertimbangan. Melepaskan ikan untuk mendapatkan telapak beruang yang mahal, sulit untuk memilih salah satu di antaranya, hanya bisa berpamitan pada roh dalam linangan air mata, selamat tinggal gunung Huasan yang tercinta. Setelah selesai berdoa dan sembahyang, maka dinyalakan api yang berkobar-kobar membakar kayu, sekejap saja jasad pun menjadi abu. Yangzi menengadah ke langit dan menangis dengan tersedu-sedu, lalu pulanglah ia menuju ke rumahnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai anak yang berbakti. Sesampainya di rumah, ibunya telah meninggal dunia.<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Di sisi lain, arwah si Tongkat Besi yang sedang bertamasya menuju ke gunung Huasan, mengikuti Taisang Laojun ke berbagai kawasan di kayangan, melewati Penglai dan Fangzhang serta tiga puluh enam gua. Dalam wisata beberapa harinya itu, banyak sekali ia mendapat ilmu dari Laojun, dan akhirnya sampailah tujuh hari seperti rencana semula, lalu ia berpamitan kepada Laojun, namun Laojun hanya tersenyum tanpa kata, kemudian membuat sebuah mazmur Buddha serta mendorongnya agar segera pulang ke jasadnya. Mazmur (catatan) itu berbunyi: "Menebah padi tidak menebah gandum, kereta berjalan ringan menelusuri jalan yang hafal; Jikalau ingin mendapat jasad kembali, harus mencari wajah yang baru."<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Si Tongkat Besi pulang persis di hari ketujuh dan sesampainya di pondok rumahnya, dicarilah tubuh yang dulu dia tinggalkan, namun tidak ditemukannya, bahkan sang murid Yangzi pun sudah tidak kelihatan. Yang tampak hanyalah bekas tumpukan kayu bakar, hawa yang hangat dari sisa pembakaran itu masih mengepul, sekelilingnya sunyi senyap, saat itu baru disadari apa yang telah terjadi dengan jasadnya itu, segalanya sudah terlambat dan hanya umpatan yang bisa dilontarkan kepada murid yang mengingkari janjinya.<o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Maka arwah si Tongkat Besi pun bergentayangan, hanya bisa menangis siang dan malam. Suatu hari, ia melihat seseorang yang mati kelaparan, tergeletak di sisi bukit, saat itulah secara tiba-tiba teringat kembali olehnya akan mazmur Laojun sebelum berpisah dengannya: "Kalau ingin mendapatkan jasad kembali, harus mencari wajah yang baru". Eh, siapa tahu mayat yang mati kelaparan itu justru sandaran yang ia tunggu-tunggu. Kalau memang demikian, buat apa menyalahkan orang lain? Apalagi arwahnya gentayangan dan tak mempunyai sandaran hidup, mana punya waktu lama-lama untuk pilih-pilih lagi? <o:p></o:p></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Singkat cerita, si Tongkat Besi pun masuk ke dalam jasad mayat itu yang masih segar, lalu berdiri. Mayat kelaparan itu berwajah dekil dan rambut kusut, telanjang dada, dia berjalan timpang dan bertongkat bambu. Jadi tampangnya yang buruk rupa dan pincang yang dilihat oleh generasi berikutnya, adalah wujud yang berasal dari tubuh mayat kelaparan itu, bukanlah wujud dari badannya yang asli. Setelah masuk ke dalam jasad itu, maka ia dapat kembali lagi memiliki kemampuan supernormal untuk melakukan berbagai hal. Disemburkan air ke tongkat bambu yang ada di tangannya dan jadilah sebuah tongkat besi lagi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i>Sumber ( erabaru.net )<o:p></o:p></i></span></div>butongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3178582753081585314.post-1438022773133634802010-12-06T06:04:00.000-08:002010-12-08T19:18:46.626-08:00Legenda Delapan Dewa: Lu Dongbin<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin, dari Daerah Yong Le pada Dinasti Tang, bermarga Lu dan bernama Pin. Ketika berusia 20 tahun, Dia diberi nama Dongbin. Kebiasaan ini merupakan sebuah tradisi pada masa itu. Ayahnya, Lu Rang, adalah gubernur dari Daerah Hai. Lu Dongbin lahir pada hari ke-empat belas, bulan ke empat, tahun ke-empat belas tahun Zhen Yuan. Julukannya adalah ‘Chun Yang Zi’. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Diceritakan bahwa ketika Lu Dongbin lahir, alunan musik surga dan wangi semerbak memenuhi ruangan. Kemudian, seekor bangau putih turun dari langit dan menghilang saat menembus tirai tempat tidur. Menurut cerita, Lu Dongbin terlahir dengan keistimewaan fisik. Wajahnya oval berkulit halus, karakter kuat, tubuh tegap, punggung kuat dan mata yang indah dengan alis tebal. Selain itu, lehernya ramping dengan tulang pipi yang tinggi, dahi lebar, hidung lurus, kulit coklat bersih dan tahi lalat di bawah mata kirinya. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dia sangatlah pintar dengan memori yang sangat baik sejak kecil. Saat dewasa, Lu Dongbin tingginya delapan kaki dan dua inchi, dengan sedikit bekas cacar air, kulit wajah kuning terang, kumis dan jenggot. Lu Dongbin sangat suka mengenakan tutup kepala Hua Yang. Pada tahun Huichang Dinasti Tang, sesuai dengan perintah orang tuanya, Dia pergi ke kota Chang An untuk mengikuti ujian sebagai calon pejabat pemerintahan. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Suatu hari, saat berjalan-jalan di Chang An, Dia melihat seorang pendeta Tao berjubah biru-putih, menulis Jue Ju di sebuah dinding. Jue Ju adalah sajak empat baris, dengan lima hingga tujuh karakter di setiap baris.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Syair pertama:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">‘Selalu memegang kendi saat duduk atau berbaring santai, </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">tidak hirau terhadap apapun yang terjadi di Chan An, </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Alam semesta tak terbatas dan tanpa nama,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Berkeliling melihat rakyat menjadikan seorang bermartabat.’</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Syair Kedua:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">‘Tidaklah mudah bertemu Dewa sejati,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika bertemu, akan Aku ikuti ke manapun Dia pergi.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Orang jaman dulu mengatakan, tempat tinggal para dewa menyatu dengan lautan maha luas,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Hanya dikenali dari puncak utama Peng Lai.’</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">[Peng Lai adalah surga para dewa dalam dongeng Tiongkok]</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Syair Ketiga:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">‘Jangan muak dengan frekuensi pengejaran kebahagiaan dan kenikmatan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kontemplasi liar dapat menghancurkan jiwa.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kebahagiaan dapat dihitung saat santai dengan jari tangan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Seorang yang sukses dapat ditemukan di antara orang awam’</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin terkesima dengan raut wajah tua, kualitas syair dan gaya dari orang asing tersebut. Dia mendekat dan menghaturkan hormat. Pendeta Tao tersebut berkata, “Pertama, berkenankah Anda menulis sebuah syair, sehingga saya bisa menilai cita-cita Anda?” </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin menerima pena dan menulis: </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Saya terlahir di sebuah keluarga sarjana Konfusianis pada periode damai. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Saya merasa, pakaian pejabat kerajaan terlalu berat, dan lebih memilih mengenakan pakaian petani. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Apakah arti dari mengejar, berusaha keras untuk nama dan harta?</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ada langit berdaulat Yu Qing untuk dilayani.’</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">[Yu Qing adalah istana kerajaan di sorga pada dongeng Tiongkok kuno]</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah membaca syair tersebut Pendeta Tao berkata, “ Saya adalah Yun Fang dari Bukit Heling, Gunung Zhongnan. Maukah Anda pergi dengan saya, untuk berkultivasi Tao?” Tetapi Lu Dongbin menolaknya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Walau demikian, Yun Fang dan Dongbin bermalam di penginapan yang sama. Ketika, Yun Fang memasak makanan untuk Lu Dongbin, Dongbin seketika itu tertidur. Dia bermimpi di mana dia lulus ujian kerajaan dengan nilai tertinggi. Dia kemudian memperoleh jabatan pemerintahan yang tinggi, dan menikahi dua orang putri dari keluarga yang kaya. Dalam mimpinya, Dia memiliki banyak anak cucu, selir dan pelayan. Empat puluh tahun kemudian, Dia menjadi Perdana Menteri dan memegang kekuasaan penting selama berpuluh-puluh tahun. Namun, Dia melakukan kejahatan serius, sehingga semua harta kekayaannya disita. Dia dipisahkan dari istri dan anak-anaknya. Sendiri di atas pelana kuda, ditiup angin dan salju, Dia menyesali hidupnya dan menghela nafas panjang. Kemudian, Dia tiba-tiba terbangun, menyadari bahwa itu hanyalah sebuah tidur siang yang singkat, di sebelahnya, nasi pun belum selesai dimasak. Yun Fang pun tersenyum dan menyanyikan sebuah syair,</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">“Saat beras masih dimasak, Kamu telah menyelesaikan hidupmu dalam satu mimpi”</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dongbin terkejut mendengar perkataannya, lalu bertanya, “Tuan Yun Fang, Anda tahu tentang mimpi saya?” Yun Fang menjawab,”Mimpimu penuh dengan pergolakan, penuh kehormatan dan aib. Lima puluh tahun bukanlah apa-apa, itu hanyalah sekejap mata. Karena itu, perolehan dan kehilangan dalam hidup yang sangat singkat tidaklah berarti apapun. Setiap orang harus melalui sesuatu yang disebut kesadaran penuh dan pencerahan untuk mengerti bahwa hidup hanyalah sebuah mimpi.” Dongbin akhirnya mengerti bahwa mimpinya adalah sebuah petunjuk, dan menjadi tercerahkan. Diapun mohon untuk diangkat sebagai murid, untuk belajar seni menyelamatkan makhluk hidup di dunia. Untuk menguji niat Dongbin, Yun Fang berkata padanya, “pikiran dan jiwamu berada jauh terpaut dengan tingkatan dewa. Kamu perlu berkultivasi beberapa kehidupan untuk mencapai pencerahan.” Setelah bersedia mengikuti cara Yun Fang, Lu Dongbin segera meninggalkan hidupnya dan hidup menyepi menjalani kultivasi. Setelah Dongbin menjadi murid Yun Fang, Dia diberi 10 ujian.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ujian pertama:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Lu Dongbin kembali dari perjalanan panjang, Dia menemukan semua anggota keluarganya telah meninggal karena penyakit. Lu Dongbin tidak menyesali perjalanannya, seketika itu Dia mempersiapkan peti mati untuk proses kremasi. Ajaibnya, semua keluarganya kemudian kembali hidup sehat tanpa penyakit apapun.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian Kedua:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin pergi ke kota untuk menjual barang dagangan. Setelah mencapai kesepakatan harga, Si Pembeli mengingkari kesepakatan dan hanya membayar setengah harga. Lu Dongbin sama sekali tidak berdebat dengan Si Pembeli. Dia mengambil uang tersebut, dan pergi meninggalkan barangnya sesuai dengan yang Ia janjikan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian ketiga:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Suatu hari ketika Lu Dongbin akan meninggalkan rumahnya, Dia bertemu seorang pengemis, menyandarkan kakinya ke pintu depan untuk meminta sedekah. Lu Dongbin secepatnya memberi sejumlah uang. Namun, Si Pengemis bersikeras meminta lebih banyak lagi, dan membentak Lu Dongbin dengan kata-kata kasar. Dongbin hanya tersenyum dan berterima kasih kepada pengemis tersebut.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian keempat:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin menggembalakan domba di gunung ketika seekor macan menyergap dombanya. Lu Dongbin menggiring dombanya ke hilir gunung. Ketika Lu Dongbin menghalangi dengan badannya, macan kelaparan itupun mengurungkan niatnya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian Kelima :</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin sedang membaca di pondok jeraminya, ketika dengan tiba-tiba, seorang gadis cantik belia muncul di hadapannya. Gadis itu menjelaskan bahwa ia kehilangan arah ketika hendak menuju kediaman Ibunya. Karena hari sudah gelap dan kakinya tidak kuat berjalan lagi, gadis itu memohon kepada Dongbin untuk diijinkan menginap semalam. Dongbin menyetujuinya. Malam itu, gadis tersebut menggoda Lu Dongbin dengan berbagai cara, agar mau tidur bersama. Tetapi, tak satupun berhasil. Lu Dongbin benar-benar mengacuhkannya. Setelah mencoba selama tiga hari, gadis tersebutpun pergi dengan membawa kegagalan. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian Keenam:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Suatu hari, Dongbin meninggalkan rumahnya pergi ke desa tetangga. Ketika pulang, Dia mendapati rumahnya telah dirampok. Si Perampok mengambil semua barang, bahkan tidak meninggalkan satu barang berhargapun untuk sarapan pagi. Dongbin tak sedikitpun kecewa. Sebaliknya, Dia bekerja keras mengolah sawahnya untuk bertahan hidup. Suatu hari, ketika menggali tanah, Dia menemukan banyak uang emas. Seketika itu, Dia mengubur kembali seluruhnya, tidak mengambil satu keping emaspun yang bukan miliknya itu.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian Ketujuh:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin bertemu dengan tukang loak dan membeli beberapa keping tembaga darinya. Ketika tiba di rumah, dan membersihkannya Dia melihat beberapa keping tembaga itu ternyata adalah kepingan emas. Dia kemudian mencari Si penjual dan mengembalikan semua keping emas itu.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian kedelapan:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Seorang biarawan sedang menjual obat di pasar. Menurut promosinya, siapapun yang menelan pilnya akan mati seketika, dan bereinkarnasi memperoleh Tao. Sepuluh hari telah lewat, tetapi tak seorangpun membeli obatnya. Dongbin membeli obat tersebut. karena ingin menolong. Biarawan itu kemudian berkata, “Kamu perlu mempersiapkan pemakaman secepatnya.” Namun, setelah meminum obat itu, Lu Dongbin tetap hidup dan sehat. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian kesembilan:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Saat itu musim semi, ketika air sungai meluap sampai ke tepi. Dongbin menyeberangi sungai bersama dengan sekelompok orang. Ketika mereka menempuh setengah perjalanan, angin kencang meniup air sungai, menghasilkan gelombang bergulung. Semuanya panik, kecuali Dongbin yang duduk tegak, tanpa gentar sedikitpun.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Ujian Kesepuluh:</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin tengah duduk di tengah sebuah ruangan, ketika dengan tiba-tiba, hantu berbagai wujud dan ukuran tampak di depan matanya. Beberapa ingin menyerangnya, sedangkan yang lain berusaha membunuhnya. Namun, tak sedikitpun dia tergerak. Kemudian, puluhan Yaksah, roh berhati iblis dalam Buddhisme, muncul menyeret terdakwa berlumuran darah dengan luka menganga. Si Terdakwa menangis berteriak, “Di kehidupan sebelumnya, Kau membunuhku, sekarang Kau harus membayarnya.” Lu Dongbin menjawab, “Pembunuhan harus dibayar dengan kematian.” Lu Dongbin kemudian mencari pisau, bersiap untuk bunuh diri, dan membayar hutangnya. Tiba-tiba lagi, ada tangisan keras di udara dan semua hantu lenyap. Seseorang tertawa keras, sambil turun dari angkasa. Dia adalah Yun Fang. Dia berkata, “ Aku telah mengujimu sepuluh kali dan kamu tetap tak tergerak. Aku yakin kamu memiliki bawaan dasar untuk menjadi dewa dan memperoleh Tao.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kemudian, Lu Dongbin mengikuti Yun Fang ke Bukit Heling, Gunung Zhongnan, di mana Yun Fang mengajarkan ajaran sejati dari Tao. Segera, dua dewa, Zen Siyuan Qing Xi dan Pendeta Tao Shi Tai Hua, terbang dengan awan ke Bukit Heling. Setelah bertegur sapa dengan Yun Fang, mereka duduk bersama. Pendeta Tao Shi bertanya, “siapakah pemuda yang duduk di samping ini?” Yun Fang menjawab, “ Putra Lu, Gubernur Hai.”</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Yung Fang kemudian meminta Dongbin maju ke depan, memberi hormat kepada dua dewa tersebut. Setelah dua dewa itu pergi, Yung Fang memberi tahu Dongbin, “Aku akan pergi menghaturkan hormat kepada Sang Penguasa, dan mengajukanmu sebagai dewa. Kamu harus pergi. Dalam sepuluh tahun, Aku akan menunggumu di danau Dong Ting.” </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Yung Fang kemudian memberkahi Lu Dongbin Dharma Ling Bao Hua dan menyerahkan beberapa pil abadi. Saat itu, dua dewa datang dan membacakan lembaran emas kepada Yun Fang, “Sang Penguasa dengan maklumat kerajaan memilihmu sebagai dewa dari Istana Sembilan Intan. Kamu akan segera memulai perjalananmu.” </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Yun Fang berkata pada Dongbin, “Aku harus mematuhi maklumat dan pergi menemui Sang Penguasa. Kamu harus mensyukuri kesempatanmu di alam manusia. Terus berkultivasi dan ciptakan kebajikanmu. Pada akhirnya, kamu akan menerobos dan menjadi dewa sepertiku.”</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Lu Dongbin membungkuk sekali lagi kepada Yun Fang dan berkata, cita-cita saya berbeda dengan cita-cita Anda, Tuan. Saya ingin menyelamatkan semua makhluk hidup sebelum pergi ke sorga.” Kemudian,Yun Fang pergi perlahan, mengendarai awan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dongbin mengembara ke selatan ke arah sumber Sungai Li. Ketika sampai pada menara lonceng Gunung Lu, Dia bertemu dengan Zhu Rong yang mengajarinya ilmu pedang Tiandun. Zhu Rong mengaku, “ Aku Pendeta Tao tertinggi di Dalong. Dahulu, Aku sering kali memusnahkan iblis jahat dengan pedang ini. Sekarang, akan Aku berikan pedang ini untuk memutuskan kekhawatiranmu.”</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Setelah itu, ketika Dongbin mengunjungi Sungai Yang Zi dan daerah Sungai Huai untuk pertama kalinya, Dia membunuh siluman sungai dan mencicipi kekuatan pedang itu. Sepuluh tahun kemudian, Dia sampai di danau Dong Ting. Ketika, Lu Dongbin mendaki menara Yue Yang, Yun Fang tiba-tiba turun dari langit, memberitahunya, “Aku telah datang memenuhi janjiku sebelumnya. Sang Penguasa telah mengijinkan keluargamu untuk tinggal di Prefektur Goa di Sorga. Namamu telah ditambahkan ke daftar Yu Qing.”</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Menurut legenda, Dongbin menampakkan diri selama 400 tahun di dunia manusia. Dia sering kali berkelana di antara pegunungan dan daerah rawa-rawa di provinsi Hunan dan Hubei, terutara dekat sungai Yang Zi Jiang dan Huai He. Pada tahun Zheng He, di bawah kepemimpinan kaisar Hui dari Dinasti Song, Lu Dongbin disebut-sebut sebagai “Sang Tao Agung dan Sejati”</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;">Seorang praktisi harus bisa menahan segala macam ujian yang menghantam hati dan merugikan kepentingan pribadinya. Ujian-ujian ini dirancang, untuk memastikan bahwa seorang praktisi tetap teguh pendirian, dalam mengkultivasi sifat welas asihnya. Lu Dongbin menghadapi 10 ujian. Setiap tes tersebut mengancam kepentingan pribadinya, dan bahkan nyawanya. Tetapi, dengan pikiran lurusnya, Lu Dongbin lulus semua ujian dengan mengagumkan. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Sumber : erabaru.net </span></div>butongpayhttp://www.blogger.com/profile/11866774939990542629noreply@blogger.com0