Selasa, 21 Desember 2010

Kisah Miaoshan (Guan Yin; Kwan Im)

oleh Hanna Fransisca

DI tenggara Bukit Xiangshan, hiduplah seorang raja bernama Miao Zhuangyan dan permaisurinya, Jingde Vimaladatta. Raja yang sudah berusia setengah abad itu cemas, karena ia belum juga memiliki putra mahkota. Permaisuri memberi saran pada suaminya agar berdoa di Gunung Suci Hua Shan yang berada di barat. Hua Shan dikenal sebagai tempat yang mampu mengabulkan permohonan para peziarah. Permaisuri merasa suaminya perlu memohon pengampunan atas darah yang banyak bertumpahan semasa ia mendirikan dinasti. Permaisuri berpendapat bahwa karena darah yang bertumpahan itulah, maka para Dewa belum juga menganugerahi mereka putra mahkota.
Raja menerima saran permaisuri. Ia segera memerintahkan perdana menterinya agar menunjuk lima puluh pandeta Buddha dan Tao untuk berdoa pada Dewa Hua Shan, memohon pengampunan atas dosa-dosa raja dan meminta agar raja segera diberi keturunan. Upacara suci digelar di kuil Gunung Hua Shan selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri turut berdoa dan memberi persembahan pada Dewa. Tetapi Dewa dari Hua Shan yang telah mengetahui banyaknya nyawa yang dikorbankan akibat tiga tahun peperangan yang dilakukan oleh raja demi untuk meraih tatahnya, tidak memenuhi permohonan raja dengan serta merta, meski raja telah melakukan upacara suci.
***
Kisah sebelumnya, ada seorang bijak bernama Shih Ch’in-ch’ang tinggal di gunung Chiu Ling yang terletak di India. Ia merupakan nenek moyang tiga generasi yang mengabdikan diri pada Buddha. Ketiga anaknya( Shih Wen, Shih Chin, dan si si bungsu Shih Shan) menjadi pandeta.
Suatu hari, seorang pemimpin perampok, Wang Che, bersama tiga puluh pengikutnya dikejar oleh prajurit kerajaan India, hingga mereka tersudut dan kelaparan. Wang Che membawa anak buahnya meminta makanan ke rumah Shih Wen. Saat mengetahui Wang Che dan gerombolannya adalah perampok, ketiga abang adik yang menjadi pandeta itu menolak memberi sedekah. Wang Che sangat gusar. Meski begitu ia mengajak pengikutnya segera pergi dan mengurungkan niat membunuh setelah tahu ketiga kakak beradik itu adalah pandeta pengikut Buddha.
Akhirnya, Wang Che menemukan sebuah rumah orang kaya dan mulai merampoknya. Karena mendapat perlawanan segit, Wang Che akhirnya gelap mata dan membunuh semua penghuni rumah tanpa peduli apakah itu wanita, anak-anak, maupun orangtua. Seusai merompok seisi rumah, Rombongan Wang Che membakar rumah itu hingga rata dengan tanah. Para Dewa mencatat kejadian ini dan menghukum keluarga Shih sebagai yang bersalah. (Memang keluarga Shih telah mengabdikan diri pada pekerjaan mulia selama tiga generasi, dan rombongan perampok itu memang jahat dan tak patut dikasihani, tapi karena keluarga Shih menolak memberi sedekah makananlah yang mengakibatkan para perampok merampok dan membunuh seluruh keluarga Tai). Para Dewa memutuskan menghukum tiga pandeta Buddha ini ke dalam penjara surga. Selamanya mereka tidak boleh melihat cahaya matahari.
***
Saat Miao Zhuangyan memohon agar dikaruniai seorang putera, Dewa dari Hua Shan segera menghadap raja para Dewa di surga, Dewa Yue Huang.
“Raja Miao Zhuangyan telah memberi persembahan pada hamba dan memohon agar diberi seorang putera untuk kelak menggantikan dirinya. Tetapi, hamba juga menyadari perang demi perang yang dilakukannya hingga menyebabkan kematian umat manusia dalam jumlah yang besar, oleh karenanya ia tidak punya hak untuk dikabulkan permintaannya. Oleh karena itu hamba menghadap dan meminta kebijakan untuk membalas jasa persembahannya”.
“Apa yang kau harapkan dariku untuk diberikan padanya?”
“Berilah pada raja itu titisan dari tidak bersaudara Shih. Ini sekaligus untuk memberi kesempatan pada tiga bersaudara itu untuk membersihkan diri dari dosa-dosa mereka dengan kelahiran kembali. Dan tiga bersaudara ini akan menjelma sebagai tiga putri bukan putra. Ini sekaligus untuk menghukum perbuatan dosa raja Zhuangyan.”
Dewa Yue Huang setuju dan melepas tiga pandeta Buddha tawanannya. Mereka dipersiapkan untuk menitis ke rahim permaisuri.
***
Raja Zhuangyan sangat bahagia setelah tahu permohonannya dikabulkan dan istrinya hamil. Ia sudah tak sabar ingin menimang seorang anak. Suatu pagi permaisuri melahirkan puteri pertamanya, yang diberi nama Miaoyan. Raja berusaha menutupi kekecewaannya. Ia tidak putus asa dan berharap di kelahiran berikutnya ia akan mendapatkan seorang putera.
Dalam tempo yang singkat permaisuri hamil yang kedua. Raja pun berdoa setiap hari pada para Dewa agar anak yang dikandung istrinya adalah laki-laki. Tiba saat persalinan raja bahkan menunggu di depan pintu. Saat mendengar tangis bayinya, tak sabar ia bertanya pada bidan.
“Apakah laki-laki?”
“Selamat. Permaisuri melahirkan seorang putri, Yang Mulia.”
Mendengar jawaban bidan, tubuh raja Miao Zhuangyan lunglai seketika. Saat ditanya nama apa yang akan diberikan untuk putri keduanya, dengan tersungut ia menjawab: Miaoyin. Meski begitu raja tidak berputus asa. Ia bahkan lebih rajin berdoa dan bersedia mempersembahkan apa saja kepada para Dewa asal ia diberi seorang anak laki-laki. Hingga suatu hari ia diberitahu oleh istrinya bahwa istrinya mengandung lagi. Raja segera bertanya kepada seluruh abdi negara, apa yang bisa ia perbuat agar anak yang dikandung isterinya kini adalah seorang putera mahkota.
Sesuai pendapat para perdana menterinya, raja pun terus berdoa untuk kelahiran anak ketiganya. Ia menyuruh perdana menterinya agar memberi persembahan lagi kepada Dewa di Gunung Hua Shan. Ia juga mempersiapkan pesta untuk menyambut kelahiran sang putera mahkota. Ntah kenapa ia merasa yakin bahwa ia akan mendapatkan putera mahkota untuk kali ini. Tidak hanya itu ia bahkan bersumpah di hadapan para abdi kerajaan.
“Jika aku kembali memperoleh seorang puteri untuk kali ini, maka selanjutnya aku tidak akan mempunyai anak lagi.”
Tetapi apa hendak dikata, permaisuri untuk ketiga kalinya melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Miaoshan—kelak ia terkenal karena kesederhanaannya, berbudi luhur, dan tekun mendalami semua ajaran Buddha. Agaknya Dewa dari Gunung Hua Shan betul-betul menghukum raja Miao Zhuangyan. Raja sangat kecewa dan memanggil perdana menterinya.
“Usiaku sudah lima puluh tahun lebih dan aku belum juga memiliki seorang putera mahkota sebagai pengganti diriku kelak. Tak ada gunanya seluruh kemenangan yang kuraih jika pada akhirnya dinastiku akan berakhir sampai di sini”.
Perdana menteri berusaha menghibur.
“Langit telah menurunkan tiga puteri untuk Yang Mulia. Manusia tidak kuasa melawan keputusan para Dewa. Mari kita berharap jika kelak para puteri ini tumbuh dewasa akan dinikahkan dengan suami pilihan. Dengan begitu Yang Mulia bisa memilih salah satu dari suami mereka sebagai penerus tatah kerajaan.”
***
Saat Miaoshan berada di dalam kandungan, permaisuri bermimpi menelan rembulan. Dan pada malam kelahiran Miaoshan, harum semerbak tiba-tiba memenuhi seluruh ruang persalinan. Masyarakat di sekitar istana melihat cahaya keemasan memayungi istana, mereka sempat terkejut dan menduga telah terjadi kebakaran di istana. Beberapa penduduk menanyakan keanehan itu, dan mereka diberitahu bahwa permaisuri baru saja melahirkan puteri ketiganya. Masyarakat percaya bahwa seorang suci telah muncul di kerajaan.
Miaoshan meski dibesarkan di lingkungan istana, ia sangat berbeda dengan kedua kakaknya. Ia mengenakan pakaian sederhana tanpa perhiasan. Ia juga tidak menyentuh makanan daging, bahkan sering berpuasa. Ia tidak membuang waktunya dengan bersenang-senang dalam kemegahan sebagai seorang puteri. Ia juga tak pernah marah saat kedua kakaknya mengejek dirinya memakai pakaian yang hanya layak dipakai oleh para pelayan. Tentu saja raja memperhatikan semua yang terjadi di istana. Raja membicarakan kelakuan puteri bungsunya pada permaisuri.
“Puteri bungsu kita kelakuannya aneh sekali. Kau tentu tahu ia mengajari para pelayan untuk menjalani kehidupan religius, bahkan mengajak mereka menanggalkan perhiasan. Ini tidak bisa dibiarkan. Kerajaan akan kacau jika para pelayan mengikutinya.”
“Lalu apa yang bisa kita lakukan?”
“Suruh ia menghadapku dan aku meminta kau tidak membelanya.”
Miaoshan menghadap. Meski usianya relatif muda tapi wajahnya selalu bersinar layaknya orang bijaksana. Raja mengerutkan dahi saat mengamati puteri bungsunya yang datang menghadap dengan pakaian yang sama seperti pakaian para pelayan. Raja berusaha menahan diri. Permaisuri mempersilahkan Miaoshan duduk di hadapan mereka.
“Miaoshan, engkau kini telah dewasa. Sebetulnya engkau juga berhak membuat keputusan untuk hidupmu sendiri. Tapi selama di kerajaanku, engkau harus menuruti perintahku.”
“Tentu, Ayahanda.”
“Kudengar kau mengajari para pelayan istana untuk hidup seperti kehidupan para biksuni. Ayah sebagai pemimpin kerajaan tidak senang akan hal itu. Mereka adalah para pelayanku dan akulah yang berkuasa atas mereka.” Miaoshan tetap tenang dan wajahnya tidak tampak berubah.
“Aku dan ibumu akan mencarikan suami untukmu. Mulai saat ini kau harus mematuhi semua tradisi kerajaan. Dan aku tidak ingin kau menentang keputusanku ini.”
“Ayahanda, ananda telah mendapat pencerahan. Ananda ingin menyelaraskan hidup dalam harmoni. Setiap manusia mempunyai sungai nafsu dan sering tanpa sadar tenggelam di dalamnya. Ananda tidak ingin hidup ananda hanya untuk kepuasan duniawi dan akhirnya jatuh dalam penderitaan abadi. Ayahanda atas petujuk Buddha, ananda telah berikrar untuk menjadi biksuni. Ananda tidak ingin hanya karena untuk menyenangkan hati Ayahanda dan Ibunda, ananda tidak bisa melaksanakan tugas untuk membebaskan semua mahluk dari penderitaan mereka. Ayahanda jika Ayahanda memerintahkan ananda untuk menikah, ananda memohon pengampunan karena tidak dapat mematuhinya. Ananda memohon, kini ijinkanlah ananda mohon diri karena ada pekerjaan yang harus ananda kerjakan.”
Miaoshan mundur dari hadapan orangtuanya. Raja menatap permaisuri dengan memendam geram.
“Puteri kita tidak boleh menjadi biksuni. Pastikan ia tidak melakukan hal bodoh itu!”
***
Malam harinya permaisuri berkunjung ke kamar Miaoshan dan berusaha membujuk puterinya dengan lemah lembut agar mau mengubah pikirannya.
“Mengapa engkau tidak ingin menikah? Lihatlah kebahagiaan kedua kakakmu yang telah menikah dengan pangeran tampan dan punya anak-anak yang lucu.”
Miaoshan tersenyum. “Ibunda, ananda akan mematuhi perintah Ibunda jika Ibunda masih bersikeras untuk menikahkan ananda, asal Ibunda bisa menghalangi tiga ketidakberuntungan itu datang”.
“Apa yang engkau maksud dengan tiga ketidakberuntungan itu, Anakku?” Permaisuri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan puterinya.
“Tiga ketidakberuntungan itu adalah, kesatu, wajah laki-laki muda akan setampan bulan tapi ketika usia datang mereka akan beruban, wajah keriput, dan segala gerak tubuh mereka menjadi lemah, tidak seperti saat mereka muda. Kedua, otot laki-laki bisa kuat dan sehat, bahkan ia dapat berjalan seperti terbang di udara. Tapi ketika penyakit datang padanya, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur tanpa kenikmatan apapun. Yang ketiga, seorang laki-laki mungkin bisa saja memilih seseorang yang paling dicintainya, tapi akan tiba saat ketidakabadian itu datang, pada saat itu tiba, bahkan kerabat terdekat seperti Ayahanda pun tak akan mampu menggantikan tempatnya. Jika aku bisa mendapat suami yang mampu menolak tiga ketidakberuntungan ini, aku akan menikah dengannya. Sebaliknya jika tak seorang pun yang mampu, maka ijinkanlah ananda berikrar untuk tidak menikah selamanya.”
Permaisuri tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya memandang wajah puterinya dengan senyum bangga. Ia sama sekali tidak kecewa dengan pilihan hidup anaknya. Tapi ia merasa sangat sedih, membayangkan raja yang pasti murka.
Apa yang dikwatirkan permaisuri benar-benar terjadi. Raja menghukum puterinya tanpa memperbolehkan seorang pun memberinya makanan, minuman, atau menemaninya. Miaoshan ditempatkan di kandang kuda. Hari demi hari berlalu, tapi tekad sang puteri sedikit pun tidak goyah.
Permaisuri tidak dapat menahan cemas atas nasib puterinya. Diam-diam ia mengutus pelayannya agar membawakan makanan dan minuman untuk puterinya. Miaoshan menolak apa yang dibawa oleh pelayan untuknya. Dalam masa hukuman justru tekadnya untuk mengabdikan diri pada Buddha semakin kuat.
Raja yang mendapat laporan perkembangan hukuman yang sedang dijalani puterinya semakin murka.
“Baiklah. Kalau ia memang tidak takut pada kematian, ia akan segera mendapatkannya.”
“Tapi suamiku, apakah tidak tergesa-gesa? Bagaimana kalau kita meminta kedua kakak Miaoshan yang membujuknya.”
Dengan berat hati raja menerima saran permaisuri. Permaisuri bernafas lega karena untuk sementara waktu puterinya terlepas dari golok algojo.
***
Miaoyan dan Miaoyin datang ke kandang kuda bersama suami mereka yang tampan dan gagah. Mereka tampak bahagia dan mengundang iri setiap mata yang memandang. Raja selalu bangga dengan kedua puterinya ini, hingga lupa ada satu lagi puterinya yang lain, yang ia tempatkan di kandang kuda.
“Senang melihat Kakak berdua dalam keadaan sehat”, Miaoshan menyambut kehadiran kakaknya dengan senyum. Wajahnya tidak tampak sedang susah.
“Tentu saja Miaoshan,” Miaoyan meneruskan pembicaraannya, “Kami selalu dilindungi dan dibahagiakan oleh suami kami. Sungguh sayang, kami harus melihatmu dalam keadaan seperti sekarang ini.”
“Kenapa engkau tersenyum, Miaoshan?”, sahut Miaoyin, “Jika engkau sayang pada orangtua kita, kembalilah dan memohon ampun pada mereka. Buang jauh-jauh niatmu untuk menjadi biksuni.”
“Kalian mendambakan kehormatan dan kemuliaan sebagaimana kalian terikat dalam cinta pernikahan. Kalian menikmati kesenangan pada masa kini tanpa menyadari sebab dari penderitaan adalah kesenangan. Kalian bergantung pada orangtua dan suami kalian. Semua hal yang kalian sebut kebahagiaan adalah ketergantungan,” Miaoshan menjawab dengan tenang, “Saudariku ingatlah, setiap dari kalian akan mengalami satu kehidupan dan satu kematian. Coba periksa kembali diri kalian dan jangan lagi membujukku, sebab keputusanku tidak akan berubah. Biarlah Ayahanda yang memutuskan aku harus hidup atau mati.”
Miaoyan dan Miaoyin menggelengkan kepala. Bagaimanapun mereka tidak memahami jalan pikiran adik mereka yang bertolak belakang dengan kedudukan mereka sebagai puteri kerajaan. Miaoyan dan Miaoyin segera melapor pada raja bahwa adik mereka masih bersikeras ingin menjadi biksuni. Raja semakin murka. Ia gerah jika harus terus menerus bersikap lunak pada puteri bungsunya. Tapi ia juga tidak ingin membuat permaisuri yang dicintainya bersedih hati dengan membunuh puteri bungsunya sendiri.
***
Pada masa itu hiduplah seorang biksuni yang bernama Huizhen. Raja memanggil Huizhen menghadap.
“Aku ingin kau melaksanakan perintahku!”
“Dengan senang hati hamba akan menjalankan titah Baginda.”
“Puteri bungsu kami, Miaoshan, bersikukuh ingin menjadi biksuni. Aku akan membiarkannya tinggal bersama kalian di vihara selama tujuh hari. Tapi selama ia di sana aku ingin kalian membujuknya agar kembali ke istana. Jika kalian tidak berhasil atau sebaliknya malah membujuk ia untuk tetap menentangku, maka akan kupenjarakan seluruh biksuni yang ada di kerajaan ini.”
Biksuni Huizhen terkejut mendengar perintah raja. Ia mendongakkan kepala sesaat dari tempat ia bersujud. “Tapi, apa kesalahan kami, Yang Mulia? Mohon dipertimbangkan kembali keputusan Baginda ini.”
“Untuk itulah aku memanggilmu dan mencari cara bagaimana supaya puteriku itu bisa mematuhi tradisi kerajaan, bukannya menjadi biksuni. Adalah tanggung jawab kalian untuk mengubah keputusannya. Atau jangan-jangan kalianlah yang telah meracuni pikirannya hingga ia menentangku!?”
“Ampun, Baginda. Kami tidak pernah melakukan perbuatan jahat seperti itu.”
***
Miaoshan tinggal di asrama para biksuni bersama lima ratus biksuni lainnya yang menyambut kehadiran dirinya dengan hangat dan ramah .  Tiba di vihara Miaoshan segera bersujud dan berdoa, mengucap syukur pada Buddha yang telah melunakkan hati ayahnya hingga ia kini memperoleh tempat tinggal yang lebih baik dari kandang kuda. Miaoshan sangat cepat menyesuaikan diri dengan lingkungn vihara. Ia bekerja dan belajar bersama para biksuni. Meski ia diberi tempat istimewa karena ia seorang puteri raja, ia tetap bersikap rendah hati.
“Miaoshan, engkau tumbuh dan besar di kerajaan. Mengapa engkau mencari kesunyian untuk dirimu? Bukankah jauh lebih baik engkau hidup di istana daripada bermeditasi di vihara?”
“Aku pada mulanya berniat menyelamatkan semua mahluk. Namun setelah melihat tingkat pengetahuan kalian seperti ini aku kecewa. Jika seorang biksuni saja bisa berbicara seperti ini, maka berapa banyak lagi orang awam yang akan mencelaku? Mungkin ada alasan ayahku tidak suka pada kalian dan melarangku menjadi seorang biksuni.”
“Kalian tahu apa arti kepala bundar dan berjubah sederhana? Tujuan seorang biksuni adalah menjauhkan diri dari kebesaran sebuah nama dan kemegahan. Berusaha melepaskan diri dari perasaan dan kemelakatan, serta melenyapkan ketergantungan. Guru Buddha dengan sangat jelas memberi aturan bagi mereka yang telah meninggalkan keluarga harus meletakkan tangan di atas kepala mereka dan meninggalkan semua perhiasan. Mereka harus memakai jubah yang tidak berwarna-warni dan mencari penghidupan dengan membawa mangkuk dana. Lantas mengapa kalian masih membicarakan kemegahan dan kemewahan? Kalian secara terbuka telah melanggar sila-sila murni. Menerima dana dari umat dengan cara tidak semestinya dan kalian menghabiskan waktu dengan sia-sia. Penampilan kalian memang biksuni, tapi hati kalian tidak.”
Para biksuni terdiam. Huizhen akhirnya berterus terang pada Miaoshan dengan menunjukkan surat perintah raja.
“Maafkanlah kelemahan kami, Miaoshan. Sebenarnya kami berada dalam tekanan raja. Kami memohon padamu, selamatkanlah para biksuni. Patuhi perintah Ayahandamu.”
Miaoshan menatap tajam mata sang biksuni.
“Kalian tahu, pangeran Mahasattva menjatuhkan diri dari tebing untuk memberi makan harimau yang telah membuatnya mencapai tingkat tanpa kelahiran. Raja Sivi memotong dagingnya sendiri untuk seekor merpati hingga ia mencapai penerangan di pantai Nirwana. Karena kalian yang juga telah memilih meninggalkan keluarga, seharusnya memandang tubuh ilusi ini sebagai ketidakabadian. Tubuh adalah wadah samsara. Setiap pikiran haruslah mencari pembebasan. Kenapa kalian masih takut pada kematian dan begitu mencintai kehidupan duniawi?”
Para biksuni terdiam mendengar apa yang dipaparkan Miaoshan dengan tegas laiknya seorang guru mengajari muridnya. Huizhen mengucap syukur bahwa Miaoshan yang telah mencapai pencerahan. Meski begitu beberapa biksuni lain masih merasa kwatir dengan keselamatan mereka, dan mereka mulai merencanakan sesuatu.
***
Dalam diskusi rahasia tanpa Miaoshan.
“Sungguh sombong kalau ia memaksakan setiap orang harus seperti dirinya. Ia boleh saja telah mencapai pencerahan, tapi yang lain? Apa ia tidak tahu bahwa tingkat pengetahuan setiap biksuni itu berbeda-beda?”
“Selain itu ia dilahirkan di istana. Pasti terbiasa hidup enak. Ia mana bisa tahu penderitaan hidup di luar. Ia berpikir menjadi biksuni itu pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Kita harus memberinya tugas seberat mungkin sampai ia menyesali apa yang telah ia katakan.”
Rencana itu disepakati. Sejak saat itu Miaoshan diberi pekerjaan kasar dan berat, dengan harapan keinginannya untuk menjadi biksuni segera patah. Apalagi waktu seminggu hampir habis, yang berarti jika Miaoshan masih bersikeras menjadi biksuni maka tamatlah riwayat para biksuni. Miaoshan melakukan pekerjaan yang telah diberikan padanya dengan senang hati. Ia memasak dan membersihkan dapur setiap hari. Ia hanya diberi seorang teman untuk membantunya bekerja.
“Tidak ada sayuran di kebun kita. Kau yang harus mencukupi kebutuhan sayur pada waktu yang telah ditentukan,” Kata seorang biksuni yang membantu Miaoshan itu.
Miaoshan segera ke ladang dan melihat memang hanya ada sedikit sayuran di sana. Ia berpikir keras bagaimana cara menyediakan sayuran yang cukup untuk dimakan semua biksuni pada esok harinya. Pada saat ia berpikir keras itulah, seekor naga tiba-tiba membantunya dengan kekuatan gaib. Pagi harinya, ladang telah dipenuhi sayuran bahkan lebih untuk beberapa hari berikutnya. Dan ketika Miaoshan harus mengambil air dari mata air sungai yang jauh, keajaiban kembali terjadi. Sebuah mata air tiba-tiba muncul di samping dapur.
Huizhen yang diam-diam mengetahui kekuatan gaib yang dimiliki Miaoshan sadar bahwa Miaoshan bukanlah manusia biasa. Tidak ada gunanya menghalangi niat puteri itu. Maka tepat pada hari ke tujuh ia menghadap raja dan menceritakan apa yang telah terjadi. Sang raja semakin dikuasai amarah langsung menemui permaisuri.
“Miaoshan ternyata mempraktekkan ilmu sihir hitam di tempat para biksuni. Sungguh keterlaluan! Ia harus dihukum atas perbuatannya!”
Miaoshan dipanggil kembali menghadap istana. Keputusan raja untuk memenggal kepala puteri bungsunya sudah tidak dapat diganggu gugat, meski permaisuri terus meratap memohon pengampunan bagi puterinya. Miaoshan tidak tampak tegang meski maut telah berada di depan matanya. Di hadapan para rakyat dan para pejabat, Miaoshan dengan tenang memejamkan mata saat algojo menarik pedang dari sarungnya.
Ketika pedang akan menyetuh leher Miaoshan, Dewa Gunung dari Gunung Naga yang mengetahui bahwa Miaoshan adalah Bodhisatva yang akan menyelamatkan banyak mahluk, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyelamatkan Miaoshan. Langit menjadi gelap seketika. Halilintar menyambar-nyambar. Petir menggelegar. Angin menderu kencang. Saat itu Miaoshan tiba-tiba tidak lagi berada di tempatnya.
Raja yang tidak mengetahui bahwa yang baru saja terjadi adalah kekuatan Dewa, menjadi sangat murka. Ia merasa puterinya telah meremehkan pengadilannya. Maka ia memerintahkan prajuritnya untuk memenggal kepala seluruh biksuni dan membakar semua vihara. Permaisuri hanya mampu menangis tersedu-sedu menyaksikan kemurkaan raja.
“Jangan bersedih. Ia pasti anak iblis yang terlahir di keluarga kita. Ia justru harus dimusnakan karena telah membuat kekacauan di kerajaan kita!”
***
Sementara itu, Miaoshan yang telah dibawa ke kaki Gunung Naga, mendapati dirinya seorang diri. Ia mencoba melangkahkan kaki. Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang tak lain adalah jelmaan Dewa Gunung.
“Gadis baik hendak pergi ke mana?”
“Aku ingin menyepi di atas puncak gunung ini”
“Gunung ini tempat tinggal para binatang buas. Ini bukanlah tempat yang tepat untuk bermeditasi.”
”Apa nama gunung ini, Kek?”
“Gunung ini tempat tinggal para Naga maka disebut Gunung Naga”
“Lalu bagaimana dengan pegunungan di sebelah barat itu?”
“Itu juga tempat kediaman para Naga. Karena gunung ini kecil maka disebut Gunung Naga Kecil sementara yang besar itu disebut Gunung Naga Besar. Tapi ada bukit di antara pengunungan ini. Namanya Xiangshan. Bukit itu tempat yang suci dan bersih, dan sangat cocok bagimu untuk menyepi.”
“Terima kasih, Kek. Tapi siapakah Kakek sesungguhnya?”
“Pengikutmu ini bukanlah seorang manusia, namun seorang dewa di gunung ini. Aku sebagai pengikutmu kelak, berikrar akan melindungimu.”
Miaoshan mengucapkan terima kasih sekali lagi pada kakek tua. Ia kemudian meneruskan perjalanan menuju Xiangshan sesuai petunjuk yang telah diberikan Dewa Gunung padanya. Puncak bukit Xiangshan rata. Berumput lembut dan tidak ditemukan jejak manusia. Miaoshan membangun gubuk dari reranting dan semak ilalang. Ia membuat pakaian dari dedaunan, dan meminum air embun. Selama tiga tahun ia bertapa tanpa seorangpun mengetahuinya.
Sementara di istana, raja Miao Zhuangyan menderita penyakit kamala karena karma buruknya. Penyakit ini menimbulkan bekas buruk di seluruh tubuhnya. Tabib-tabib terbaik telah didatangkan. Berbagai sayembara diselenggarakan  bagi siapa saja yang mampu mengobati penyakit raja akan mendapat hadiah besar.  Tapi dari ke hari tak seorang pun mampu mengobati raja, bahkan penyakitnya semakin memburuk.
Suatu hari seorang biksu muncul di gerbang istana dan meminta menghadap raja. Para prajurit seketika bersiaga, kwatir biksu itu datang untuk membalas dendam.
“Kalian tak perlu kwatir. Katakanlah pada raja, aku tahu obat yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Jika kalian masih curiga padaku, ikatlah tanganku ini.”
Perkataan biksu itu berhasil menyakinkan para prajurit, dan mereka segera melapor. Tak lama kemudian para prajurit muncul kembali dan mempersilahkan biksu itu menghadap raja.
“Hamba hanya seorang biksu miskin. Kedatangan hamba ke sini karena hamba tahu obat yang dapat menyembuhkan Yang Mulia.” Ujar biksu pada raja.
“Obat apakah itu, Biksu? Jika obat itu bisa menyembuhkanku, kau akan kuberi hadiah yang sangat besar.”
“Obat itu hanya membutuhkan dua ramuan saja, yaitu berupa tangan dan mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah.”
Semua yang hadir di situ mencemooh sang biksu, dan raja merasa telah dipermainkan.
“Apa kau sengaja mengejekku, Biksu? Aku akan memerintahkan pengawal menyeretmu keluar dan menyobek mulutmu yang lancang itu! Jangan sembarangan bicara! Mana ada orang yang jika tangan dan bola matanya diambil akan diam saja dan tidak marah?”
“Memang benar, Yang Mulia. Orang seperti itu tidak ada di kerajaan ini. Ia berada di sebuah bukit bernama Xiangshan. Ia seorang pertapa. Pertapa inilah yang hamba maksud.”
Atas saran biksu, raja memerintahkan utusannya membawa dupa persembahan ke atas pegunungan Xiangshan. Saat tiba di atas bukit, utusan segera membakar dupa dan meminta ijin untuk berbicara dengan sang pretapa.
“Hamba kemari membawa titah raja Miao Zhuangyan, wahai Sang Pandita.”
Pertapa membuka matanya perlahan. Matanya teduh memandang orang asing yang datang ke tempatnya.
“Apa yang ingin kau sampaikan, Utusan? Engkau adalah manusia pertama yang kutemui di sini.”
“Baginda menderita penyakit kamala selama tiga tahun. Para tabib hebat dan semua ramuan obat di negeri ini tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Seorang biksu datang ke istana dan memberi resep obat yang memerlukan dua bahan utama, yaitu tangan dan mata dari seseorang yang tidak memiliki amarah. Dengan penghormatan yang sangat dalam, kami memberanikan diri memohon pada Sang Pandita agar bersedia memberikan ke dua lengan dan sepasang mata untuk menyembuhkan raja.”
Sang utusan segera membungkuk dua kali. Sang Pandeta tercenung sesaat. Meski terkejut, ia tidak tampak marah.
“Penyakit rajamu disebabkan oleh karena ia tidak menghormati Triratna, yaitu: Buddha, Dharma, dan Sangha. Aku akan memberikan kedua lengan dan mataku sebagai obat baginya. Tapi raja harus mengarahkan pikirannya menuju pencerahan dan berikrar akan berlindung di bawah Triratna. Dengan cara seperti itu barulah ia dapat sembuh dari penyakit yang dideranya.”
Biksuni Miaoshan mencungkil kedua bola matanya dengan sebilah pisau dan meminta utusan itu memotong kedua lengannya. Saat itu juga Gunung Xiangshan berguncang hebat, dan dari langit terdengar suara menggelegar: “Salam sejahtera ia yang telah mampu menyelamatkan semua mahluk hidup. Salam sejahtera bagi ia yang mampu melakukan hal-hal yang tidak mungkin di dunia ini. Semoga diberkati semesta!”
Sang utusan sangat ketakutan. Ia gemetar. Tapi sang pertapa yang berlumuran darah menenangkannya dengan ringan.
“Jangan takut. Segera potong kedua lenganku ini dan bawa serta dengan dua bola mataku ini. Bawa pada raja. Ingatlah pesanku tadi.”
***
Utusan tiba di istana dan raja menerima sepasang lengan dan bola mata yang dibawanya. Raja merasa sangat malu pada biksu dan meminta biksu itu segera meramu bahan tersebut untuk diminumnya.
Tidak sampai sepuluh hari, sang raja benar-benar sembuh total dari penyakitnya. Ia bersama permaisuri, seluruh keluarga kerajaan, para menteri, dan para pelayan istana bergembira serta memberi hadiah pada  biksu.
“Tidak seorangpun yang dapat menyembuhkan penyakitku. Tapi engkau telah berhasil melakukannya, Guru”, kata sang raja.
“Semua keajaiban ini bukan karena kekuatan hamba. Yang Mulia harus ke pegunungan Xiangshan untuk berterima kasih pada pertapa yang telah mengorbankan lengan dan matanya.”
Sang raja menjadi malu karena harus diingatkan kembali. Keesokan harinya ia bersama permaisuri dan kedua puterinya menyiapkan kereta kuda menuju bukit Xiangshan. Arak-arakan panjang membawa persembahan hadiah mewah untuk sang pertapa.
“Kuhaturkan beribu-ribu terima kasih, Wahai Sang Pertapa yang Budiman. Aku tidak mungkin sembuh tanpa kebaikan hatimu. Engkau rela menderita demi kesembuhanku. Maka hari ini aku datang bersama kerabat terdekatku untuk mengucapkan terima kasih padamu.”
Semua yang hadir tertunduk sedih dan terharu saat memandang tubuh pertapa yang tidak memiliki lengan dan mata. Permaisuri memandang lekat-lekat wajah pertapa, ia merasa wajah pertapa itu mirip dengan wajah puteri bungsunya yang telah hilang. Entah kenapa, meski ia kurang yakin, ia terisak.
“Oh Ibunda! Janganlah kembalikan pikiranmu pada Miaoshan. Aku adalah dirinya. Saat Ayahanda menderita penyakit kamala, anakmulah yang telah memberikan kedua tangan dan bola matanya untuk membalas kasih sayang sang raja.”
Mendengar kata-kata itu, raja dan permaisuri beserta Miaoyan dan Miaoyin memeluk Miaoshan dengan tangis histeris. Para pelayan tak kuasa membendung air mata. Gunung Xiangshan kini dibanjiri air mata haru.
“Wahai Dewa di surga, karena perbuatan jahatkulah, anak perempuanku telah kehilangan kedua lengan dan matanya. Aku akan menjilat kedua mata anakku dengan lidahku, dan menyatukan kembali kedua lengannya. Aku memohon bantuanMu Dewa, agar menumbuhkan kembali kedua bola mata anakku dan ,mengutuhkan kembali lengannya.”
Raja menunjukkan keteguhan hatinya. Tapi sebelum mulutnya tiba di mata anaknya, Miaoshan tiba-tiba lenyap dari pelukkan mereka. Pada saat yang sama, bumi berguncang hebat. Cahaya emas memenuhi gunung. Tak lama kemudian tampaklah Sang Buddha yang tenang dan agung, dengan sinar memesona. Sang raja dan semua yang berada di puncak gunung itu segera berlutut di hadapan Bodhisatva.
“Mata duniawi kami gagal mengenali kebesaranMu. Karma buruk telah kami dapatkan. Kami menmohon perlindungan dari kesalahan kami di masa lampau, dan mulai saat ini kami akan berlindung pada Triratna. Kami akan membangun kembali vihara-vihara. Kami memohon kemurahan hatiMu agar kembali pada tubuh asalmu dan ijinkan kami memberi persembahan”.
Pertapa kembali ke wujud asalnya dengan serta merta, utuh dengan kedua lengan dan matanya. Ia duduk bersila dengan tenang dan meninggal saat itu juga. Raja dan permaisuri membakar dupa dengan terisak. Mereka bersumpah di hadapan Bodhisatva.
“Kami akan memberikan persembahan kayu wangi dan mengkremasi tubuh sucimu saat tiba di istana. Kami akan membangun sebuah stupa untukmu dan memberi persembahan.”
Raja memenuhi janjinya. Ia mendirikan sebuah vihara yang di dalamnya diletakkan tubuh sang Bodhisatva dan di luarnya dibangun stupa. Ia membangun kembali vihara-vihara dan sebuah pagoda berlantai tiga belas di Pengunungan Xiang Shan.
***
Miaoshan mendapat gelar Dewi Guan Yin dari Sang Buddha. Guan Yin di Indonesia lebih dikenal dengan ejaan Kwan Im. Ia juga dikenal sebagai Bodhisatva Avalokitesvara. Dewi yang mampu mengasah batu menjadi jarum. Dewi yang tidak mengenal putus asa. Dalam mitologi berbeda, ada lagi kisah Kwan Im yang lain, semisal Kwan Im Seribu Tangan, Kwan Im Penjaga Laut Selatan, Kwan Im Pemberi Berkah Anak, dll.  Konon ada tiga puluh delapan jelmaan Kwan Im. Dan sangat menyesal, untuk saat ini aku belum bisa menceritakannya satu persatu. Tentu kisah mitologi ini ada beberapa versi, bahkan ada yang difilmkan. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa seni visual dan seni sastra (mitologi ini masuk dalam sastra China Klasik) tentu memiliki perbedaan. Jadi harap dimaklumi saja, jika apa yang tercatat ini kurang memuaskan. Bagian-bagian yang didramatisir seperti kedua kakak Miaoshan yang jahat, ibunya yang menjadi gila, ayahnya yang menjadi buta, tidak dalam catatan ini. Apalagi kisah yang menceritakan ayah Kwan Im kemudian menjelma menjadi seekor sapi. Dongeng maupun mitologi selalu mempunyai beberapa versi. Tapi yang penting  dari itu semua, kita menghikmati pesan-pesan yang dibungkus di dalamnya.

Hanna Fransisca, sastrawan tinggal di Singkawang. Telah menerbitkan bungarampai puisi Konde Penyair Han (2010), selain itu cerita pendeknya terbit dalam antologi cerpen Kolecer & Hari Raya Hantu.Menurut pengakuan Hanna, jiwanya merasa terpanggil untuk menuliskan Kisah Miaoshan(Guan Yin; Kwan Im).

Sumber : www.journalbali.com